Senin, 17 Oktober 2016

Sanjung Biola

Sanjung Biola
Karya: Gustomi Sutioso
Santri PP As Saidiyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Senja berlalu. Hari beranjak malam. Puluhan kendaraan berlalu lalang menelusuri jalanan. Sebagian besar dari mereka adalah pencari nafkah untuk keluarga yang selesai dengan kesibukannya. Hiasan lampu jalan sejauh mata memandang membuat dunia tak kunjung gelap. Secangkir kopi telah tersaji nikmat di depan pandangan seorang penghuni penjara suci. Namanya Rudi. Usianya tak jauh berbeda dengan namanya, 17 tahun. Dia temanku sejak bercelana biru hingga abu-abu, bukan teman dekat, hanya teman, entah untuk ke depan. Kami tinggal bersama telah lebih dari 4 tahun lamanya. Di sebuah pesantren kecil yang berdiri sejak 2004, kehidupan kami sehari-hari adalah sebagai seorang santri; pencari ilmu-penjaga persaudaraan-buta teknologi-kurang pergaulan atau apalah. Lokasinya di daerah jawa tengah, dekat ibukota provinsinya.
“Assalamualaikum” aku menyapa Rudi yang sedang asyik duduk di pinggir jalan dengan cangkir kopi kesayangannya. Aku mengerti, Rudi selalu menggunakan cangkir itu saat menikmati minuman kafein itu. Entah apa alasannya, Rudi selalu membawa cangkir itu kemanapun ia pergi untuk menikmati kopi. Meminta kepada si penjual agar membuatkan kopi di cangkir yang telah dibawanya. Warnanya putih jika dilihat dari luar tapi dalamnya biru, aku sangat hafal dengan cangkir itu.
“Waalaikumussalam” jawab Rudi dengan melambaikan tangan ke atas persis gaya Pak Harto dengan caption khas bertulis “pie kabarmu? enak jamanku to?” Ucapan salamku kepada Rudi seakan menggambarkan kedaimaian dan tradisi pesantren yang sulit dihilangkan bahkan tak bisa hilang, u'lussalam. Salam adalah salah satu hak seorang muslim kepada muslim lainnya selain memenuhi undangan, memberi nasihat, menjawab hamdalah, menjenguk ketika sakit, dan ngelayat ketika meninggal. Hari itu bukan kali pertama aku berjumpa dengan Rudi di warung kopi pinggir jalan itu. Hampir setiap libur ia menghabiskan waktunya di tempat itu. Karena terbiasa melihat aku bahkan hafal apa yang biasa dilakukan rudi di tempat itu selain menikmati kopi. Biasanya ia menerung, kadang baca novel kadang juga main musik.
Jum’at adalah hari kebahagiaan seorang santri, juga umat muslim di seluruh dunia. Bagi umat muslim, mereka mungkin bahagia karena jum’at adalah hari terbaik, hari baik untuk sedekah karena dilipatkan pahalanya atau pun kesempatan dihapusnya dosa-dosa sebagaimana redaksi hadits. Namun bagiku dan kaum santri lainnya hari Jum’at adalah hari kebahagiaan karena ngaji dan sebagian aktivitas kepesantrenan libur. Hari Jum’at adalah kesempatan santri untuk bermain. Seperti Rudi yang bersenyawa dengan kopi hitam, atau aku yang hanya berjalan-jalan dan teman-teman santri lain.
Malam itu aku sendiri, menikmati liburan yang sangat singkat dengan berjalan kaki di sekitar lingkungan pesantren yang bersatu dengan masyarakat. Aku selalu suka keramaian. Lampu-lampu rumah, suara musyawarah warga hingga lantunan pengajian kampung, aku selalu mendengarnya dengan sangat baik. Disini malam Jum’at selalu identik dengan pembacaan maulid dziba. Setiap mushola, remaja dan anak-anak hadir dan bersemangat membacakan riwayat kehidupan kekasih mereka; Nabi Muhammad SAW.
Aku masih menghabiskan sisa liburan dengan berjalan. Namaku Sahid, lengkapnya Muhammad Said. Aku sangat suka musik baik itu mendengarkan atau memainkan. Hampir lima tahun tinggal di penjara suci tempat berkumpulnya ilmu agama, aku tak menemukan sesuatu yang lebih menarik darinya. Umurku masih 16 tahun, satu tahun lebih muda dari Rudi, teman sekamarku. Keseharianku sama layaknya santri di seluruh dunia; Ngaji, jamaah, lalaran, syawir, taqrar dll. Yang menjadi beda, aku salah satu santri yang dipercaya keluarga ndalem untuk mengelola pesantren dalam bidang seni.
Pukul 21:45 WIB, sebentar lagi pasukan keamanan akan berkeliaran menertibkan santri. Aku segera mempercepat langkahku, berputar melewati musholla, madrasah dan MTs tempat dulu aku belajar hingga akhirnya kembali ke pondok. Aku terkejut setelah membuka pintu kamar. Rudi, teman sekamarku sedang bermain sesuatu. Rudi memainkan alat musik di pondok. Rudi melanggar peraturan. Kepribadianku sebagai pengurus pondok keluar. Sesuatu yang membuatku terkejut sebenarnya adalah alat musik yang dibawa Rudi, biola. Biola putih itu milikku yang aku titipkan di toko depan pondok. Kenapa bisa di tangan Rudi?aku sangat mencintai biola putih itu. Aku merawatnya dengan cinta selama dua tahun lebih.
Aku masuk kamar dengan memasang wajah bahagia, setidaknya aku telah selesai liburan meski sangat singkat. Walaupun Rudi memanggil emosiku dengan membawa biola itu ke pondok, aku tak memasang wajah marah di depannya, demi menjaga keutuhan persaudaraan. Aku tersenyum melihat Rudi menoleh ke arahku. Lalu aku membalas pula dengan senyuman seraya berkata: “Besok kembalikan ke toko depan ya, Rud.” Rudi yang masih dalam keadaan terkejut karena kedatanganku diam sejenak, lalu membalas dengan jawaban singkat: “Iya.”
Sebenarnya malam itu aku akan pergi menginap ke salah satu rumah guruku yang sedang hajatan. Rumahnya tepat di belakang MTs tempat dulu aku belajar. Tapi karena aku hanya seorang diri dan tidak membawa apapun serta ramainya keadaan di rumah itu, aku memutuskan untuk membatalkan kunjunganku kesana. Karena semua orang yang datang ke rumah Pak Ali berpasangan dan membawa sesuatu. Rudi, teman sekamarku yang lebih tua usianya dariku mungkin mengira aku akan menginap di rumah Pak Ali, dan memanfaatkan kesempatan ini. Ia membawa biola putihku ke pondok. Ia mengira bahwa aku tidak akan tahu apa yang dilakukannya. Namun sayang seribu sayang. Semuanya tidak seperti jalan pikiran Rudi, aku membatalkan kunjungan itu. Aku masih tidak terima dengan perilaku Rudi. Aku yang dua tahun lebih memiliki biola itu, merawat biola itu saja tidak berani membawa ke pondok. Tapi Rudi dengan remehnya melakukan hal itu. Dia tidak tahu apa yang dia bawa. Biola itu adalah alat musik kesayanganku. Aku sangat mecintai biola putih itu. Malam itu keadaan pikiranku menjadi hancur meski telah berlibur singkat. Semua memori-memori liburan singkatku terhapus oleh rasaku ke Rudi malam itu. Baru saja kami saling sapa, sekarang ia memanggil emosiku.
Malam berlalu cepat, aku memilih tidur menghabiskan sisa malam jum’at berharap mimpi indah dari pada terbangun memikirkan perilaku Rudi. Pagi menyambut indah. Hari Jum’at. Jamaah solat subuh-membaca surat alkahfi selesai aku lakukan bersama teman-teman santri yang lain. Pukul setengah enam pagi, udara masih dingin. Aku berdiam di kamar membaca novel karya seorang penulis terkemuka. Suasana sangat hening. Para santri memilih melanjutkan tidur mereka. Sebagian jogging mengelilingi sudut pesantren. Sebagian lagi membaca; termasuk aku. Aku tak tahu Rudi kemana. Sejak pagi menyapa aku belum melihat batang hidungnya. Biola putih masih dalam pikiranku.
            Dimana dia sekarang?
Apakah masih di tangan Rudi? Atau sudah pindah ke tangan teman yang lainnya?
Jangan-jangan dirampas abah atau umi sesuai dengan peraturan lama?

***
Pagi berlalu dengan damai. Suara kicauan burung dari kejauhan mulai hilang. Matahari mulai naik, menuju angkasa. Keheningan mulai pecah. Suara kendaraan di jalanan terdengar lebih kencang menandakan meningkatnya volume kendaraan. Aku masih membaca.
                        “kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup.
Sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri.
Ketahuilah semakin keras kau berlari, maka semakin kuat cengkramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul memenuhi kepala.”

            Tiba-tiba nada biola putih kesayanganku terdengar samar-samar di telinga. Konsentrasi membacaku pecah seketika. Aku berdiri serentak meletakkan buku di atas lemari untuk kemudian berlari mengikuti suara biolaku. Aku berfikir sepersekian detik saat mendengar suara itu semakin jelas. Lantai dua! Aku berlari tangkas menaiki tangga. Menuju lantai dua. Menaiki satu per satu anak tangga. Sampai di lantai dua. Aku menghentikan langkahku. Disana Rudi bersama biola putihku. Tapi Rudi tak sendirian, ia bersama Anam; teman akrab Rudi. Biolaku dimainkan oleh Anam. Anam Pandai memainkannya, tidak seperti Rudi yang selalu fales ketika menggesek alat musik megah itu. Aku mendekati mereka, mengatur nafas agar tidak terlihat gugup.
Anam lebih dulu menyapaku “Assalamualaikum.” Akupun membalas salam Anam lalu bertanya kepada Rudi mengapa biolaku belum dikembalikan ke toko depan padahal hari sudah siang. “Aku masih ingin mendengar Anam main biola, Id” kata Rudi dengan ekspresi wajah tak merasa bersalah. Dalam hati aku bergumam. “Rudi kamu tahu apa yang telah kamu lakukan? Kamu membawa alat musik kesayanganku. Aku takut terjadi sesuatu dengan biolaku. Aku sangat menyukainya.” Aku kemudian berlalu tanpa menjawab alasan Rudi. Kuharap dia merasa bahwa aku benar-benar butuh alat itu dikembalikan, aman. Aku menuruni anak tangga satu per satu dengan pelan sambil menyimak sedikit lantunan nada mayor yang dimainkan Anam.
Anam adalah santri pindahan dari pesantren Ibukota. Menurut berita yang beredar, Anam dikeluarkan. Ia enam bulan lebih disini, sudah akrab dengan teman-teman barunya, termasuk Rudi. Yang aku suka dari anam selain permainan biolanya adalah tubuhnya yang ideal, kekar seperti di iklan El-men di televisi. Wajar saja, ia adalah alumni perguruan silat saat di pondoknya dulu. Walaupun ia baru disini, namun ia bertingkah sudah seperti mafia di pondok. Mungkin karena tubuhnya yang kekar, semua santri menjadi takut. Aku seringkali mengamati sebagian pesantren yang masih saja diberlakukan hukum rimba. Termasuk di pesantrenku. Kadang, para pengurus bertindak tidak adil kepada para santri yang mempunyai awak lebih besar.
Aku membiarkan biolaku bersenandung indah oleh Anam. Aku bergegas mandi untuk kemudian menjalankan kewajibanku sebagai mukallaf, sholat jumat. Pukul sebelas siang. Kamar mandi pondok sudah ramai dengan santri. Aku terpaksa harus antri, seperti biasanya. Suara biola sudah berhenti. Semoga biola putih itu segera kembali ke toko depan. Aku akan sangat bahagia bila hal itu terjadi.
Namun kenyataan tak seindah harapan. Setelah pulang sholat jumat, aku menuju kamar Anam. Disana kudapati anam sedang tertidur pulas. Nampaknya dia tidak sholat jumat. Ya, tidak semua yang berlabel santri itu rajin ibadah. Semua manusia digoda oleh syaitan. Ada yang terpengaruh, ada yang tidak. Aku membangunkan Anam dan menanyakan biola putihku. Ia menjawab tak tahu, menjadikanku semakin gundah memikirkan alat musik itu. Aku kemudian menunggu Rudi masuk kamar, sambil melanjutkan membaca.
Aku harus menyibukkan diri.
Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul.
Ya Tuhan, berat sekali melakukannya.
Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.
Orang kuat itu bukan berarti dia selalu kuat. Tidak.
Melainkan dia tahu sekali kapan harus berjuang habis-habisan,
kapan harus siap tulus melepaskan.
            Rudi akhirnya tiba, setelah sekian lama aku membaca hingga menemukan seuntai kata-kata mutiara. “Dimana biolaku sekarang, Rud?” aku langsung melontarkan pertanyaan itu ketika mendapati Rudi membuka pintu. “Sudah kukembalikan,” jawab Rudi asal-asalan. Jawaban yang tak meyakinkan jika dipikir dengan logika. Tapi entahlah, mungkin itu hanya pikiran negatif seseorang yang terluka karena benda yang dicintainya dalam keadaan berbahaya. Tanpa basa-basi, aku langsung meninggalkan Rudi di depan kamar. Menuju toko depan pondok. Menemui biola putih kesayangku. Oh.
            Biolaku masih belum dikembalikan, kata Mbak Yam, pemilik toko itu. Tubuhku lemas mendapati jawaban Mbak Yam. Prasangkaku benar, Rudi membohongiku. Sabarku sudah habis. Aku kembali masuk ke pondok untuk menemui Rudi. Namun , saat aku masuk kamar Rudi sudah keluar lebih cepat. Aku gagal bertemu dengannya sekarang. Begitupula Anam, aku berlari menaiki tangga bergegas menemui anam secepat-cepatnya. Namun terlambat. Anam telah lebih dulu keluar, entah kemana. Emosiku tak tertahan lagi. Kemana biolaku? Mengapa jadi seperti ini? Jangan-jangan biolaku hilang? Jangan-jangan biolaku dijual oleh teman-teman?
            Aku coba menenangkan diri dengan memutar musik di handphone. Semua pengurus di pesantrenku diberi akses untuk memegang handphone demi mudahnya berkomunikasi. Aku memutar lagu dari band yang sekarang sulit terjangkau lagi adanya, kerispatih. Berharap lagu berjudul “pertama dan terakhir” ini bisa sedikit menghapus kegundahanku. Sambil memutar musik aku membuka facebook meng-update status terkini. Berharap menjadi santri kekinian. Aku iseng menulis status pendek dan menandai dua teman yang jahat padaku dan biolaku.
            Adzan ashar mengharuskanku melepas headset dan beranjak mengambil air wudlu. Sholat ashar berjamaah. Berdoa semoga masih ada harapan untuk kembalinya biolaku yang sekarang tak jelas nasibnya. Dalam redaksi hadits dikatakan bahwa sholat mencegah perbuatan keji dan munkar. Andai saja sholat mengembalikan barang yang hilang.
            Aku kembali ke kamar. Memutar musik. Memasang headset di kedua telingaku. Dua pesan dari facebook sudah menungguku. Aku membukanya. Oh Anam. Anam marah-marah atas status yang kubuat dengan menandainya. Anam mengelak atas kejadian ketidakjelasan keberadaan biolaku. Dia berkata bahwa yang membawa Rudi karena yang mengambil juga Rudi. Tapi aku berfikir Anam yang membawanya. Karena yang pandai memainkannya adalah dia. Sementara Rudi hanya pandai mendengarkan. Aku acuh dengan kata-kata kasar dan kotor Anam di facebook. Mungkin dia hanya emosi biasa.
            hari-hariku berselimut kesedihan sejak biola putih itu menghilang. Tanpa semangat. Sholat maghrib-ngaji sorogan-sholat isya aku jalani dengan lemas seolah tak punya semangat hidup. Aku masih memikirkan biola putih nan indah kesayanganku. Sampai Pukul 23:00 Anam dan Rudi belum juga aku temui. Kemana mereka? Atau lebih tepatnya kemana biola? Aku membayangkan betapa indahnya suara gesekan biola yang aku mainkan ketika hari libur tiba. Yang sekarang mungkin sudah tak bisa lagi ku ulangi.
Kebahagiaan datang secara tiba-tiba, begitupun kesedihan. Aku masih merenung membayangkan keberadaan biola putihku. Lama. Sangat lama. Persis saat aku terdiam dikamar berwarna hijau dengan lampu putih yang meneranginya, tiba-tiba Fajri, tetangga kamarku memanggilku. “Said, kamu disuruh ke kamar 9” ucapnya. Kamar 9? Kamarnya anam? Anam sudah kembali? Tapi ada apa? Akan ada apa?
Anam memang selalu begitu, menyuruh adik-adiknya mengerjakan kebutuhannya. Mengambil jatah makan. Membelikan sesuatu dan lain sebagainya. Ia sangat suka menyuruh. Aku tak suka dengan perilaku seperti itu. Kini aku bersiap menemui Anam dengan penampilan biasa. Karena memang dia orang biasa. Kamar 9 terkenal dengan sebutan kamar mafia. Karena penghuninya yang hampir seluruhnya bertubuh kekar. Aku tidak takut. Allah pasti membela kebenaran. Aku melangkahkan kaki menuju kamar mafia;kamar 9. Menaiki tangga. Berjalan melewati satu per satu anak tangga. Hingga sampai ke pintu kamar 9. “Assalamualaikum” aku mengucapkan salam sebelum masuk ke kamar, peraturan pondok.
Anam sudah duduk dengan pakaian singlet. Mukanya memerah seperti panglima perang. Dan, tangannya mengepal. Ya Allah ada apa ini? Apa karena status facebook tadi? Anam masih diam. Tarji yang berpostur kekar juga berdiri dibelakangnya. Sinyal semakin kuat, aku harus mencari pertahanan. Aku berdoa. Mengucapkan sholawat, sebanyak-banyaknya. Berharap bisa selamat. Entah apa mau mereka. Sekali lagi, lampu kamar dimatikan. Hatiku semakin tegang. Semakin takut. Aku tak pernah sama sekali di ajarkan untuk berkelahi ataupun sejenisnya. Dalam kegelapan aku berpinta kepada Allah.
Apapun yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Aku mohon selamatkanlah aku dari bahaya hamba-Mu. Hamba tahu engkau maha kuasa atas segala sesuatu. Hamba yakin engkau maha berkehendak.
Mata Anam melebar, lebih tepatnya melotot. Suasana semakin tegang. Biola putihku sudah mulai hilang dari pikiran. Tergantikan dengan pikiran bagaimana aku selamat dari sini. Sementara pintu dijaga ketat dua santri teman dekatnya Anam.
Putuskan sesuatu, putuskan sesuatu, buat keputusan!
Aku memejamkan mata, seraya berdo’a dalam hati: 

Ya Allah selamatkan hamba Ya Allah,berikan hamba kekuatan
Bismillahi tawakkaltu ‘ala Allah laa khaula walaa kuwwata illa b   illahiilaliyyin adhiim.

Masih memejamkan mata, dalam kegelapan. Tiba-tiba pintu terbuka. Sebuah cahaya kecil terlihat dalam kegelapan, seperti lilin. Aku menoleh kebelakang. Ya memang lilin. Rudi dan teman-teman lain dibelakangnya serentak bernyanyi
happy birthday said.....
happy birthday said.....
happy birthday happy birthday ....
happy birthday said.....
Aku melihat jam dinding dikamar Anam. Pukul 00:00 WIB. Hari ini hari ulang tahunku. Aku sampai lupa dengan hari kelahiranku. Hanya karena biola putih kesayanganku yang memenuhi pikiranku. Anam dan Rudi yang merencanakan semua ini. Rudi paling tahu bahwa hal yang paling bisa membuatnya sedih adalah tentang musik. Kemudian dibantu Anam untuk skenarionya. Sungguh menakjubkan. Tak disangka.
Memang benar, kebahagiaan datang secara tiba-tiba, begitupun kesedihan. Tak semuanya yang bernilai negatif adalah negatif. Terkadang kita harus berpura-pura buruk agar tahu bagaimana yang baik. Jangan menilai sesuatu dengan cepat. Kita tak pernah tahu apa yg ada dalam hati manusia. Malam ini aku bahagia mendapati semua teman-teman santri yang sangat perhatian denganku. Malam itu ramai; aku sangat menyukainya. Perayaan itu ditutup dengan gesekan biola putihku. Anam yang memainkan. Melantunkan nada selamat ulang tahun. Aku bahagia sekali. Sangat bahagia. Biolaku kembali.




Indah nadamu indah senarmu
Indah Anak tanggamu indah tanggamu
Indah aspalmu indah jalanmu

Seperti Violin, Hidup adalah bagaimana kita menggesek senar
Violist yang baik bukan mereka yang bermain dengan keras
Tapi mereka yang bisa menyesuaikan saatnya keras dan waktunya pelan.

Seperti Tangga, Hidup adalah bagaiama kita sampai ke atas
Melewati anak tangga yang tak pernah bisa berdiri, melintang dengan tali
Semakin ke atas semakin tinggi, semakin sulit

Seperti Jalanan, hidup adalah bagaimana kita tepat menjalaninya
Ada saatnya kita di kanan, juga di kiri
Ada saatnya kau disalip, juga menyalip
Ada saatnya kita di jalan biasa, by pass, dan tol

Lakukanlah semua sesuai kadarnya. Hidup tak seburuk yang kamu kira.
Karena Allah Maha Kuasa



























           

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar