Sanjung Biola
Karya: Gustomi Sutioso
Santri PP As Saidiyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Senja berlalu. Hari beranjak malam. Puluhan kendaraan
berlalu lalang menelusuri jalanan. Sebagian besar dari mereka adalah pencari
nafkah untuk keluarga yang selesai dengan kesibukannya. Hiasan lampu jalan
sejauh mata memandang membuat dunia tak kunjung gelap. Secangkir kopi telah
tersaji nikmat di depan pandangan seorang penghuni penjara suci. Namanya Rudi.
Usianya tak jauh berbeda dengan namanya, 17 tahun. Dia temanku sejak bercelana
biru hingga abu-abu, bukan teman dekat, hanya teman, entah untuk ke depan. Kami
tinggal bersama telah lebih dari 4 tahun lamanya. Di sebuah pesantren kecil
yang berdiri sejak 2004, kehidupan kami sehari-hari adalah sebagai seorang
santri; pencari ilmu-penjaga persaudaraan-buta teknologi-kurang pergaulan atau
apalah. Lokasinya di daerah jawa tengah, dekat ibukota provinsinya.
“Assalamualaikum” aku menyapa Rudi yang sedang asyik
duduk di pinggir jalan dengan cangkir kopi kesayangannya. Aku mengerti, Rudi
selalu menggunakan cangkir itu saat menikmati minuman kafein itu. Entah apa
alasannya, Rudi selalu membawa cangkir itu kemanapun ia pergi untuk menikmati
kopi. Meminta kepada si penjual agar membuatkan kopi di cangkir yang telah
dibawanya. Warnanya putih jika dilihat dari luar tapi dalamnya biru, aku sangat
hafal dengan cangkir itu.
“Waalaikumussalam” jawab Rudi dengan melambaikan tangan
ke atas persis gaya Pak Harto dengan caption khas bertulis “pie kabarmu?
enak jamanku to?” Ucapan salamku kepada Rudi seakan menggambarkan kedaimaian
dan tradisi pesantren yang sulit dihilangkan bahkan tak bisa hilang, u'lussalam.
Salam adalah salah satu hak seorang muslim kepada muslim lainnya selain
memenuhi undangan, memberi nasihat, menjawab hamdalah, menjenguk ketika sakit,
dan ngelayat ketika meninggal. Hari itu bukan kali pertama aku berjumpa
dengan Rudi di warung kopi pinggir jalan itu. Hampir setiap libur ia menghabiskan
waktunya di tempat itu. Karena terbiasa melihat aku bahkan hafal apa yang biasa
dilakukan rudi di tempat itu selain menikmati kopi. Biasanya ia menerung,
kadang baca novel kadang juga main musik.
Jum’at adalah hari kebahagiaan seorang santri, juga umat
muslim di seluruh dunia. Bagi umat muslim, mereka mungkin bahagia karena jum’at
adalah hari terbaik, hari baik untuk sedekah karena dilipatkan pahalanya atau pun
kesempatan dihapusnya dosa-dosa sebagaimana redaksi hadits. Namun bagiku dan
kaum santri lainnya hari Jum’at adalah hari kebahagiaan karena ngaji dan
sebagian aktivitas kepesantrenan libur. Hari Jum’at adalah kesempatan santri untuk
bermain. Seperti Rudi yang bersenyawa dengan kopi hitam, atau aku yang hanya
berjalan-jalan dan teman-teman santri lain.
Malam itu aku sendiri, menikmati liburan yang sangat
singkat dengan berjalan kaki di sekitar lingkungan pesantren yang bersatu dengan
masyarakat. Aku selalu suka keramaian. Lampu-lampu rumah, suara musyawarah
warga hingga lantunan pengajian kampung, aku selalu mendengarnya dengan sangat
baik. Disini malam Jum’at selalu identik dengan pembacaan maulid dziba. Setiap
mushola, remaja dan anak-anak hadir dan bersemangat membacakan riwayat
kehidupan kekasih mereka; Nabi Muhammad SAW.
Aku masih menghabiskan sisa liburan dengan berjalan. Namaku
Sahid, lengkapnya Muhammad Said. Aku sangat suka musik baik itu mendengarkan
atau memainkan. Hampir lima tahun tinggal di penjara suci tempat berkumpulnya
ilmu agama, aku tak menemukan sesuatu yang lebih menarik darinya. Umurku masih
16 tahun, satu tahun lebih muda dari Rudi, teman sekamarku. Keseharianku sama
layaknya santri di seluruh dunia; Ngaji, jamaah, lalaran, syawir, taqrar dll.
Yang menjadi beda, aku salah satu santri yang dipercaya keluarga ndalem untuk
mengelola pesantren dalam bidang seni.
Pukul 21:45 WIB, sebentar lagi pasukan keamanan akan berkeliaran
menertibkan santri. Aku segera mempercepat langkahku, berputar melewati
musholla, madrasah dan MTs tempat dulu aku belajar hingga akhirnya kembali ke
pondok. Aku terkejut setelah membuka pintu kamar. Rudi, teman sekamarku sedang
bermain sesuatu. Rudi memainkan alat musik di pondok. Rudi melanggar
peraturan. Kepribadianku sebagai pengurus pondok keluar. Sesuatu yang membuatku
terkejut sebenarnya adalah alat musik yang dibawa Rudi, biola. Biola putih itu
milikku yang aku titipkan di toko depan pondok. Kenapa bisa di tangan Rudi?aku
sangat mencintai biola putih itu. Aku merawatnya dengan cinta selama dua tahun
lebih.
Aku masuk kamar dengan memasang wajah bahagia, setidaknya
aku telah selesai liburan meski sangat singkat. Walaupun Rudi memanggil emosiku
dengan membawa biola itu ke pondok, aku tak memasang wajah marah di depannya, demi
menjaga keutuhan persaudaraan. Aku tersenyum melihat Rudi menoleh ke arahku. Lalu
aku membalas pula dengan senyuman seraya berkata: “Besok kembalikan ke toko
depan ya, Rud.” Rudi yang masih dalam keadaan terkejut karena kedatanganku diam
sejenak, lalu membalas dengan jawaban singkat: “Iya.”
Sebenarnya malam itu aku akan pergi menginap ke salah
satu rumah guruku yang sedang hajatan. Rumahnya tepat di belakang MTs tempat
dulu aku belajar. Tapi karena aku hanya seorang diri dan tidak membawa apapun
serta ramainya keadaan di rumah itu, aku memutuskan untuk membatalkan
kunjunganku kesana. Karena semua orang yang datang ke rumah Pak Ali berpasangan
dan membawa sesuatu. Rudi, teman sekamarku yang lebih tua usianya dariku
mungkin mengira aku akan menginap di rumah Pak Ali, dan memanfaatkan kesempatan
ini. Ia membawa biola putihku ke pondok. Ia mengira bahwa aku tidak akan tahu
apa yang dilakukannya. Namun sayang seribu sayang. Semuanya tidak seperti jalan
pikiran Rudi, aku membatalkan kunjungan itu. Aku masih tidak terima dengan
perilaku Rudi. Aku yang dua tahun lebih memiliki biola itu, merawat biola
itu saja tidak berani membawa ke pondok. Tapi Rudi dengan remehnya melakukan
hal itu. Dia tidak tahu apa yang dia bawa. Biola itu adalah alat musik
kesayanganku. Aku sangat mecintai biola putih itu. Malam itu keadaan pikiranku
menjadi hancur meski telah berlibur singkat. Semua memori-memori liburan
singkatku terhapus oleh rasaku ke Rudi malam itu. Baru saja kami saling sapa,
sekarang ia memanggil emosiku.
Malam berlalu cepat, aku memilih tidur menghabiskan sisa
malam jum’at berharap mimpi indah dari pada terbangun memikirkan perilaku Rudi.
Pagi menyambut indah. Hari Jum’at. Jamaah solat subuh-membaca surat alkahfi
selesai aku lakukan bersama teman-teman santri yang lain. Pukul setengah enam
pagi, udara masih dingin. Aku berdiam di kamar membaca novel karya seorang
penulis terkemuka. Suasana sangat hening. Para santri memilih melanjutkan tidur
mereka. Sebagian jogging mengelilingi sudut pesantren. Sebagian lagi
membaca; termasuk aku. Aku tak tahu Rudi kemana. Sejak pagi menyapa aku belum
melihat batang hidungnya. Biola putih masih dalam pikiranku.
Dimana dia sekarang?
Apakah masih di tangan Rudi? Atau sudah pindah
ke tangan teman yang lainnya?
Jangan-jangan dirampas abah atau umi sesuai
dengan peraturan lama?
***
Pagi berlalu dengan damai. Suara kicauan burung dari
kejauhan mulai hilang. Matahari mulai naik, menuju angkasa. Keheningan mulai
pecah. Suara kendaraan di jalanan terdengar lebih kencang menandakan meningkatnya
volume kendaraan. Aku masih membaca.
“kita keliru sekali jika lari
dari sebuah kenyataan hidup.
Sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya
menyulitkan diri sendiri.
Ketahuilah semakin keras kau berlari, maka semakin kuat
cengkramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula
gemanya memantul, memantul, dan memantul memenuhi kepala.”
Tiba-tiba nada biola putih
kesayanganku terdengar samar-samar di telinga. Konsentrasi membacaku pecah
seketika. Aku berdiri serentak meletakkan buku di atas lemari untuk kemudian
berlari mengikuti suara biolaku. Aku berfikir sepersekian detik saat mendengar
suara itu semakin jelas. Lantai dua! Aku berlari tangkas menaiki tangga.
Menuju lantai dua. Menaiki satu per satu anak tangga. Sampai di lantai dua. Aku
menghentikan langkahku. Disana Rudi bersama biola putihku. Tapi Rudi tak
sendirian, ia bersama Anam; teman akrab Rudi. Biolaku dimainkan oleh Anam. Anam
Pandai memainkannya, tidak seperti Rudi yang selalu fales ketika
menggesek alat musik megah itu. Aku mendekati mereka, mengatur nafas agar tidak
terlihat gugup.
Anam lebih dulu menyapaku “Assalamualaikum.” Akupun membalas
salam Anam lalu bertanya kepada Rudi mengapa biolaku belum dikembalikan ke toko
depan padahal hari sudah siang. “Aku masih ingin mendengar Anam main biola, Id”
kata Rudi dengan ekspresi wajah tak merasa bersalah. Dalam hati aku bergumam. “Rudi
kamu tahu apa yang telah kamu lakukan? Kamu membawa alat musik kesayanganku.
Aku takut terjadi sesuatu dengan biolaku. Aku sangat menyukainya.” Aku
kemudian berlalu tanpa menjawab alasan Rudi. Kuharap dia merasa bahwa aku
benar-benar butuh alat itu dikembalikan, aman. Aku menuruni anak tangga satu
per satu dengan pelan sambil menyimak sedikit lantunan nada mayor yang
dimainkan Anam.
Anam adalah santri pindahan dari pesantren Ibukota.
Menurut berita yang beredar, Anam dikeluarkan. Ia enam bulan lebih disini,
sudah akrab dengan teman-teman barunya, termasuk Rudi. Yang aku suka dari anam
selain permainan biolanya adalah tubuhnya yang ideal, kekar seperti di iklan El-men
di televisi. Wajar saja, ia adalah alumni perguruan silat saat di pondoknya
dulu. Walaupun ia baru disini, namun ia bertingkah sudah seperti mafia di
pondok. Mungkin karena tubuhnya yang kekar, semua santri menjadi takut. Aku
seringkali mengamati sebagian pesantren yang masih saja diberlakukan hukum
rimba. Termasuk di pesantrenku. Kadang, para pengurus bertindak tidak adil
kepada para santri yang mempunyai awak lebih besar.
Aku membiarkan biolaku bersenandung indah oleh Anam. Aku
bergegas mandi untuk kemudian menjalankan kewajibanku sebagai mukallaf, sholat
jumat. Pukul sebelas siang. Kamar mandi pondok sudah ramai dengan santri. Aku
terpaksa harus antri, seperti biasanya. Suara biola sudah berhenti. Semoga biola
putih itu segera kembali ke toko depan. Aku akan sangat bahagia bila hal itu
terjadi.
Namun kenyataan tak seindah harapan. Setelah pulang sholat
jumat, aku menuju kamar Anam. Disana kudapati anam sedang tertidur pulas.
Nampaknya dia tidak sholat jumat. Ya, tidak semua yang berlabel santri itu
rajin ibadah. Semua manusia digoda oleh syaitan. Ada yang terpengaruh, ada yang
tidak. Aku membangunkan Anam dan menanyakan biola putihku. Ia menjawab tak
tahu, menjadikanku semakin gundah memikirkan alat musik itu. Aku kemudian
menunggu Rudi masuk kamar, sambil melanjutkan membaca.
Aku harus menyibukkan diri.
Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu
muncul.
Ya Tuhan, berat sekali melakukannya.
Sungguh berat, karena itu berarti aku harus
menikam hatiku setiap detik.
Orang kuat itu bukan berarti dia selalu kuat.
Tidak.
Melainkan dia tahu sekali kapan harus berjuang
habis-habisan,
kapan harus siap tulus melepaskan.
Rudi akhirnya tiba, setelah sekian
lama aku membaca hingga menemukan seuntai kata-kata mutiara. “Dimana biolaku
sekarang, Rud?” aku langsung melontarkan pertanyaan itu ketika mendapati Rudi
membuka pintu. “Sudah kukembalikan,” jawab Rudi asal-asalan. Jawaban yang tak
meyakinkan jika dipikir dengan logika. Tapi entahlah, mungkin itu hanya pikiran
negatif seseorang yang terluka karena benda yang dicintainya dalam keadaan
berbahaya. Tanpa basa-basi, aku langsung meninggalkan Rudi di depan kamar.
Menuju toko depan pondok. Menemui biola putih kesayangku. Oh.
Biolaku masih belum dikembalikan,
kata Mbak Yam, pemilik toko itu. Tubuhku lemas mendapati jawaban Mbak Yam.
Prasangkaku benar, Rudi membohongiku. Sabarku sudah habis. Aku kembali masuk ke
pondok untuk menemui Rudi. Namun , saat aku masuk kamar Rudi sudah keluar lebih
cepat. Aku gagal bertemu dengannya sekarang. Begitupula Anam, aku berlari
menaiki tangga bergegas menemui anam secepat-cepatnya. Namun terlambat. Anam
telah lebih dulu keluar, entah kemana. Emosiku tak tertahan lagi. Kemana
biolaku? Mengapa jadi seperti ini? Jangan-jangan biolaku hilang? Jangan-jangan
biolaku dijual oleh teman-teman?
Aku coba menenangkan diri dengan memutar musik
di handphone. Semua pengurus di pesantrenku diberi akses untuk memegang
handphone demi mudahnya berkomunikasi. Aku memutar lagu dari band yang sekarang
sulit terjangkau lagi adanya, kerispatih. Berharap lagu berjudul “pertama dan
terakhir” ini bisa sedikit menghapus kegundahanku. Sambil memutar musik aku
membuka facebook meng-update status terkini. Berharap menjadi santri kekinian.
Aku iseng menulis status pendek dan menandai dua teman yang jahat padaku
dan biolaku.
Adzan ashar mengharuskanku melepas
headset dan beranjak mengambil air wudlu. Sholat ashar berjamaah. Berdoa semoga
masih ada harapan untuk kembalinya biolaku yang sekarang tak jelas nasibnya. Dalam
redaksi hadits dikatakan bahwa sholat mencegah perbuatan keji dan munkar. Andai
saja sholat mengembalikan barang yang hilang.
Aku kembali ke kamar. Memutar musik. Memasang
headset di kedua telingaku. Dua pesan dari facebook sudah menungguku. Aku membukanya.
Oh Anam. Anam marah-marah atas status yang kubuat dengan menandainya. Anam
mengelak atas kejadian ketidakjelasan keberadaan biolaku. Dia berkata bahwa
yang membawa Rudi karena yang mengambil juga Rudi. Tapi aku berfikir Anam yang
membawanya. Karena yang pandai memainkannya adalah dia. Sementara Rudi hanya
pandai mendengarkan. Aku acuh dengan kata-kata kasar dan kotor Anam di
facebook. Mungkin dia hanya emosi biasa.
hari-hariku berselimut kesedihan
sejak biola putih itu menghilang. Tanpa semangat. Sholat maghrib-ngaji
sorogan-sholat isya aku jalani dengan lemas seolah tak punya semangat hidup.
Aku masih memikirkan biola putih nan indah kesayanganku. Sampai Pukul 23:00
Anam dan Rudi belum juga aku temui. Kemana mereka? Atau lebih tepatnya kemana
biola? Aku membayangkan betapa indahnya suara gesekan biola yang aku
mainkan ketika hari libur tiba. Yang sekarang mungkin sudah tak bisa lagi ku
ulangi.
Kebahagiaan datang secara tiba-tiba, begitupun kesedihan.
Aku masih merenung membayangkan keberadaan biola putihku. Lama. Sangat lama.
Persis saat aku terdiam dikamar berwarna hijau dengan lampu putih yang
meneranginya, tiba-tiba Fajri, tetangga kamarku memanggilku. “Said, kamu
disuruh ke kamar 9” ucapnya. Kamar 9? Kamarnya anam? Anam sudah kembali?
Tapi ada apa? Akan ada apa?
Anam memang selalu begitu, menyuruh adik-adiknya
mengerjakan kebutuhannya. Mengambil jatah makan. Membelikan sesuatu dan lain
sebagainya. Ia sangat suka menyuruh. Aku tak suka dengan perilaku seperti itu.
Kini aku bersiap menemui Anam dengan penampilan biasa. Karena memang dia orang
biasa. Kamar 9 terkenal dengan sebutan kamar mafia. Karena penghuninya yang
hampir seluruhnya bertubuh kekar. Aku tidak takut. Allah pasti membela
kebenaran. Aku melangkahkan kaki menuju kamar mafia;kamar 9. Menaiki tangga.
Berjalan melewati satu per satu anak tangga. Hingga sampai ke pintu kamar 9. “Assalamualaikum”
aku mengucapkan salam sebelum masuk ke kamar, peraturan pondok.
Anam sudah duduk dengan pakaian singlet. Mukanya memerah
seperti panglima perang. Dan, tangannya mengepal. Ya Allah ada apa ini? Apa
karena status facebook tadi? Anam masih diam. Tarji yang berpostur kekar
juga berdiri dibelakangnya. Sinyal semakin kuat, aku harus mencari pertahanan. Aku
berdoa. Mengucapkan sholawat, sebanyak-banyaknya. Berharap bisa selamat. Entah
apa mau mereka. Sekali lagi, lampu kamar dimatikan. Hatiku semakin tegang.
Semakin takut. Aku tak pernah sama sekali di ajarkan untuk berkelahi ataupun
sejenisnya. Dalam kegelapan aku berpinta kepada Allah.
Apapun yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Aku
mohon selamatkanlah aku dari bahaya hamba-Mu. Hamba tahu engkau maha kuasa atas
segala sesuatu. Hamba yakin engkau maha berkehendak.
Mata Anam melebar, lebih tepatnya melotot. Suasana
semakin tegang. Biola putihku sudah mulai hilang dari pikiran. Tergantikan
dengan pikiran bagaimana aku selamat dari sini. Sementara pintu dijaga ketat
dua santri teman dekatnya Anam.
Putuskan sesuatu, putuskan sesuatu, buat
keputusan!
Aku memejamkan
mata, seraya berdo’a dalam hati:
Ya Allah
selamatkan hamba Ya Allah,berikan hamba kekuatan
Bismillahi
tawakkaltu ‘ala Allah laa khaula walaa kuwwata illa b illahiilaliyyin adhiim.
Masih memejamkan mata, dalam kegelapan. Tiba-tiba pintu
terbuka. Sebuah cahaya kecil terlihat dalam kegelapan, seperti lilin. Aku
menoleh kebelakang. Ya memang lilin. Rudi dan teman-teman lain dibelakangnya
serentak bernyanyi
happy birthday said.....
happy birthday said.....
happy birthday happy birthday ....
happy birthday said.....
Aku melihat jam dinding dikamar Anam. Pukul 00:00 WIB.
Hari ini hari ulang tahunku. Aku sampai lupa dengan hari kelahiranku. Hanya
karena biola putih kesayanganku yang memenuhi pikiranku. Anam dan Rudi yang
merencanakan semua ini. Rudi paling tahu bahwa hal yang paling bisa membuatnya
sedih adalah tentang musik. Kemudian dibantu Anam untuk skenarionya. Sungguh
menakjubkan. Tak disangka.
Memang benar, kebahagiaan datang secara tiba-tiba,
begitupun kesedihan. Tak semuanya yang bernilai negatif adalah negatif.
Terkadang kita harus berpura-pura buruk agar tahu bagaimana yang baik. Jangan
menilai sesuatu dengan cepat. Kita tak pernah tahu apa yg ada dalam hati
manusia. Malam ini aku bahagia mendapati semua teman-teman santri yang sangat
perhatian denganku. Malam itu ramai; aku sangat menyukainya. Perayaan itu
ditutup dengan gesekan biola putihku. Anam yang memainkan. Melantunkan nada
selamat ulang tahun. Aku bahagia sekali. Sangat bahagia. Biolaku kembali.
Indah nadamu
indah senarmu
Indah Anak
tanggamu indah tanggamu
Indah aspalmu
indah jalanmu
Seperti Violin,
Hidup adalah bagaimana kita menggesek senar
Violist yang
baik bukan mereka yang bermain dengan keras
Tapi mereka
yang bisa menyesuaikan saatnya keras dan waktunya pelan.
Seperti Tangga,
Hidup adalah bagaiama kita sampai ke atas
Melewati anak
tangga yang tak pernah bisa berdiri, melintang dengan tali
Semakin ke atas
semakin tinggi, semakin sulit
Seperti Jalanan,
hidup adalah bagaimana kita tepat menjalaninya
Ada saatnya
kita di kanan, juga di kiri
Ada saatnya kau
disalip, juga menyalip
Ada saatnya
kita di jalan biasa, by pass, dan tol
Lakukanlah semua sesuai kadarnya. Hidup tak
seburuk yang kamu kira.
Karena Allah Maha Kuasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar