PRIBUMI DINI
Mentari
mulai menyapa
Hawa
hangat berselimut di setiap pagiku
Tersayat
embun turut mengimbangi
Semilir
angin syurga berhembus dari tanah kehijauan
Burung
– burung beradu berirama
Ini
sebabnya aku jatuh hati
Jatuh
hati pada syurga dari serpihan syurga
Syurga
tanah Lot-Jawa
Dari
sini, ku membawa segebok harapan
Serantai
untaian kata semangat menggelora
Membebaskan
segenap belenggu yang merana
Ah
indahnya, ini syurgaku
Ah
sedihnya, bumiku
Sebut saja aku
Amy, nama yang identik dan bau Arab ini sehari-hari melintas di telinga kiri
dan kananku. Hilir mudik orang-orang memanggilku dengan nama yang telah
diwarisi oleh kedua orang tuaku, yang sudah lama bersantun ke Rahmatullah.
Pada mulanya
saat berkabung, aku sering menuliskan keluh kesahku pada Tuhan tentang apa,
kenapa, dan bagaimana yang tiap hari kutulis, tulis dan tulis lalu aku baca
ulang sendiri. Hmmmm… betapa gelinya
ketika aku mengingat itu.
Dalam perjalanan
hidupku, di usia seperlima abad ini kudapati dan kurasai ilmu pengetahuan yang
telah membukakan mataku dari kebutaan pengharapan palsu, berkat guruku yang 10
tahun telah menaruhku di sebuah pondok pesantren yang ada di Jombang. Selain
guruku, ia juga orang tuaku, malaikat ke tiga setelah kedua orang tuaku sudah
tak singgah di dunia fana ini.
Fana
iya fana
Dunia
yang katanya hanya tempat persinggahan dewi kayangan semata
Tak
kudapati singgahnya bahagia selamanya
Rupanya
tak rupa
Tak
mengapa aku harus merajahi dunia yang fana ini
Jika
akupun mendapatinya
Bukankah
aku juga fana karenanya?
Denting waktu
semakin cepat dan memburuku untuk segera bergegas kembali menuju Jogjakarta, sudah dua tahun aku menempuh
pendidikan di Kota Pelajar itu mengambil konesntrasi Hukum. Bagaimana tidak ?
hatiku terpanggil untuk ikut menggeluti dunia ini sebab dunia inipun sudah
mengajakku untuk memasukinya.
Sebaris pesan dari beliau tentang maqalah Imam
Syafi’i, “ Sopo sing ngarepaken dunyo iki, kudu ndue ngilmu, lan sopo sing
ngarepaken akhirat kudu ndue ngilmu yoan”, (Siapa
saja yang menginginkan dunia maka hendaknya dia harus berilmu dan siapa saja
yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia harus berilmu pula), senajen
sampean ya uwes pernah nyantri. Amalke!....
Amalke!....
Kalimat tersebut yang sejatinya selalu
didengungkan olehnya, yang pada intinya semua harus diraih dan didapat dengan
ilmu, keseimbangan hidup di dunia senda gurau ini dan ukhrawi yang senantiasa
abadi.
Berlalu......
Asap mulai
mengepul, tepat pukul 08.00 pagi aku melangkah naik Angkot menuju stasiun
Jombang, di perjalanan kudapati jelas di seberang jalan nampak bangunan Pabrik
Tua Pabrik Gula Tjoekir sebagai
peninggalan ‘Londo” yang dulu terkenal dengan “tanam paksa” yang hingga kini
masih beroperasi, bedanya mungkin sekarang ganti pemilikan. “Hehehehe… aku
tersenyum sinis sendiri”.
Banyak cerita dan mitos tentang
bangunan Belanda itu, mulai dari mistis hingga masalah kepegawaian yang hingga
kini terkadang ku dengar.
Ya,
Belanda dulu berjaya hingga kini
Di
benak pribumi
Belanda
hanya penjajah
Belanda
hanya penyamun
Dan
belanda harus diusir
Mungkin itu yang
menjadi semangat Mbah Hayim Asy’ari untuk memfatwakan Resolusi
Jihad, genderang perang santri dan Ulama’ membela bangsa melawan penjajah
adalah Jihad, kata-kata berkeliaran dan muncul difikiranku setelah kulirik
gedung Pesantren Tebuireng yang tidak jauh dari lokasi pabrik itu dari dalam Angkot yang ku tumpangi.
Tak lama, gerumun manusia memasuki stasiun.
Begitupun juga denganku langkah demi langkah memantapkan hati yang harus
berlaju menuju Jogjakarta.
PRIBUMI REFORMASI
Alam Nusantara begitu tentram
Asri, hijau dan benderang
Tengok kanan kiri
Seluruhnya menentramkan
Surgawi berjalan menjalankan roda
keindahan
Bak Manusia selalu dimanjakan dengan yang
ada
Begitu juga denganku
Sudah dilahirkan dari perut bumi Nusantara
Tak elok jika meniadakannya
Tak elok jika tak memujinya
Pertiwi bersedih sebab laku
Ia bahagia sebab Sang Kuasa
Para penghianat pertiwi lantas dilaknat
saja
Selamat datang Jogjakarta...
Kehadiranku disambut hawa sejuk bersama ranumnya mentari. Sekitar pukul 5
sore, kearifan Jogja semakin menyapaku untuk mengingatkan aku tentang segebok
tugas perkuliahan.
Menjadi sarjana hukum ialah impianku sejak kecil, dimana aku sangat
tertarik dengan hukum yang ada di Indonesia ini, hukum islam kah? Hukum Belanda
kah? Hukum progresif kah? Atau hukum demokrasi? Atau hukum sekuler ? Untuk
itulah aku ingin mengetahui tentang sinergi hukum yang ada. Pasalnya, sejarah
Indonesia terlampau keren untuk tak ditelisik, semenjak runtuhnya Era Soeharto
gejolak perkembangan pebangunan negara ini mengalami fruktuasi adalah hal yang
menarik untuk dibidik.
Hukum ?
Positivisme segala yang berlaku
Mangalur gerakan kemanusiaan
Membumung tinggi perihal keadilan,
kesejahteraan berkeadilan
Semenjak Proklamasi semangat membara
Ulama’ berjihad
Pahlawan melawan
Santri berjuang
Semenjak reformasi peluang terbuka
Pemerintah melemah
Aparat kepalang
Pemuda Suarakan! Teriakkan! Tuliskan!
Rakyat merakyat
Sebagai Mahasiswa Hukum, nampaknya aku belum mahir menerka apa yang
sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya diingini para penjilat di negeri tanah
liat ini, apa yang sebenarnya ditanam oleh bangsa seberang, penjajah!, untung
Tuhan menunjukkan Rahmat-Nya dengan memberikan kemerdekaan pada bangsa ini,
jerih payah tokoh nasionalisme, Ulama dan seluruh rakyat Indonesia yang
memperjuangkan kemerdekaannya bukan semata pemberian Bangsa Jepang.
Ingin sekali aku membungkam para penyamun
Ingin sekali aku, Si Kecil melanglangbuana
menerkam
Ingin sekali aku membedah ideologi mereka
Mengambil yang terang
Membuang yang membenang
Katanya bangsaku Toghut, kau yang luput
sejarah
Katanya negaraku kafir, kau yang krisis
fikir
Katanya bumiku sekuler, kau yang ingin
populer
Katanya tanah airku merdeka, aku buktikan
merdeka
Hukum, tak lagi Rimba
Di samping nirwana ada berkah para tetua
Ada titah para pelita.
Hari ini hari pertama masuk kuliah pasca libur
semester, sudah tahun ketiga aku mematrikan diri untuk menimba ilmu di UII
Yogyakarta. Selain menimba ilmu di dalam kelas, juga kujajaki dunia organisasi
ekstra yang buat sebagian orang dirasa ekstrim dan tidak berharga. Segala hal
memang berbeda nilai dengan cara berfikir yang berbeda. Namun, prinsipku ketika
hal itu benar dan tak menghakimi
siapapun, aku akan lakukan itu. Namun, mengingat Pak De yang selalu
berharap aku segera menyelesaikan studi ku disini. Lantas aku harus membagi
waktu untuk merealisasikan tugas dan kewajiban yang telah kupilih. "Yang
Pengen Berhasil Kudu Wani Kangelan" sebaris kalimat itulah yang kurekam
ketika Ngaji bersama Kiai Muchsin di pesantren ku dulu.
Kini, hanya itu yang menjadi peganganku menuju
kunci suksesku, "dawuh" Kiai ku dan pengharapan Pak De yang juga
guruku yang penuh pengharapan terhadap ku untuk menjadi barisan orang-orang
yang beruntung serta tentang aku yang tertarik dengan gemeritik cerita bangsa
ini.
Harapan
hanya sirna ketika berhenti
Harapan
hanya redup sebab tak laku lagi
Harapan
hanya sisa serpihan ketidakmampuan realis
Harapan
bahkan berarti omong kosong ketika tak wujud
Harapan
dengan harapan
Sebab
garapan harapan hanya berada di dua nama
Bismillah
dan alhamdulillah
(to be continuoued PRIBUMI PASCA REFORMASI:
Kisahku bersama teman seperjuangan)
TENTANG PENULIS
Rif’atuz Zuhro, lahir di Jombang, 31
Oktober 1995 yang kini menempuh S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al
Urwatul Wutsqo Jombang. Aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Cabang Jombang, dan berkontribusi aktif di dunia kepenulisan
(berita, opini) di NU Jombang online. Karya “Perjalanan Laku Pribumi” (Bagian I) adalah hasil refleksi penulis,
kolaborasi puisi narasi, Bagian ke II akan segera menyusul untuk
dipublikasikan.
Penulis juga alumni Workshop Kepenulisan Pusat
Studi Pesantren (Center for Pesantren Studies) bisa sharing menulis melalui WA 085646104327,
email : Ririfyh7@gmail.com, fb : Ririf Zuhr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar