Senin, 17 Oktober 2016

Perjalanan Laku Pribumi: Sebuah Kisah Puisi Narasi

PRIBUMI DINI
Mentari mulai menyapa
Hawa hangat berselimut di setiap pagiku
Tersayat embun turut mengimbangi
Semilir angin syurga berhembus dari tanah kehijauan
Burung – burung beradu berirama
Ini sebabnya aku jatuh hati
Jatuh hati pada syurga dari serpihan syurga
Syurga tanah Lot-Jawa
Dari sini, ku membawa segebok harapan
Serantai untaian kata semangat menggelora
Membebaskan segenap belenggu yang merana
Ah indahnya, ini syurgaku
Ah sedihnya, bumiku

Sebut saja aku Amy, nama yang identik dan bau Arab ini sehari-hari melintas di telinga kiri dan kananku. Hilir mudik orang-orang memanggilku dengan nama yang telah diwarisi oleh kedua orang tuaku, yang sudah lama bersantun ke Rahmatullah.

Pada mulanya saat berkabung, aku sering menuliskan keluh kesahku pada Tuhan tentang apa, kenapa, dan bagaimana yang tiap hari kutulis, tulis dan tulis lalu aku baca ulang sendiri. Hmmmm… betapa gelinya ketika aku mengingat itu.

Dalam perjalanan hidupku, di usia seperlima abad ini kudapati dan kurasai ilmu pengetahuan yang telah membukakan mataku dari kebutaan pengharapan palsu, berkat guruku yang 10 tahun telah menaruhku di sebuah pondok pesantren yang ada di Jombang. Selain guruku, ia juga orang tuaku, malaikat ke tiga setelah kedua orang tuaku sudah tak singgah di dunia fana ini.

Fana iya fana
Dunia yang katanya hanya tempat persinggahan dewi kayangan semata
Tak kudapati singgahnya bahagia selamanya
Rupanya tak rupa
Tak mengapa aku harus merajahi dunia yang fana ini
Jika akupun mendapatinya
Bukankah aku juga fana karenanya?

Denting waktu semakin cepat dan memburuku untuk segera bergegas kembali menuju Jogjakarta, sudah dua tahun aku menempuh pendidikan di Kota Pelajar itu mengambil konesntrasi Hukum. Bagaimana tidak ? hatiku terpanggil untuk ikut menggeluti dunia ini sebab dunia inipun sudah mengajakku untuk memasukinya.

Sebaris pesan dari beliau tentang maqalah Imam Syafi’i, “ Sopo sing ngarepaken dunyo iki, kudu ndue ngilmu, lan sopo sing ngarepaken akhirat kudu ndue ngilmu yoan”, (Siapa saja yang menginginkan dunia maka hendaknya dia harus berilmu dan siapa saja yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia harus berilmu pula), senajen sampean ya uwes pernah nyantri. Amalke!.... Amalke!....

Kalimat tersebut yang sejatinya selalu didengungkan olehnya, yang pada intinya semua harus diraih dan didapat dengan ilmu, keseimbangan hidup di dunia senda gurau ini dan ukhrawi yang senantiasa abadi.

Berlalu......

Asap mulai mengepul, tepat pukul 08.00 pagi aku melangkah naik Angkot menuju stasiun Jombang, di perjalanan kudapati jelas di seberang jalan nampak bangunan Pabrik Tua  Pabrik Gula Tjoekir sebagai peninggalan ‘Londo” yang dulu terkenal dengan “tanam paksa” yang hingga kini masih beroperasi, bedanya mungkin sekarang ganti pemilikan. “Hehehehe… aku tersenyum sinis sendiri”.

Banyak cerita dan mitos tentang bangunan Belanda itu, mulai dari mistis hingga masalah kepegawaian yang hingga kini terkadang ku dengar.

Ya, Belanda dulu berjaya hingga kini
Di benak pribumi
Belanda hanya penjajah
Belanda hanya penyamun
Dan belanda harus diusir

Mungkin itu yang menjadi semangat Mbah Hayim Asy’ari untuk memfatwakan Resolusi Jihad, genderang perang santri dan Ulama’ membela bangsa melawan penjajah adalah Jihad, kata-kata berkeliaran dan muncul difikiranku setelah kulirik gedung Pesantren Tebuireng yang tidak jauh dari lokasi pabrik  itu dari dalam Angkot yang ku tumpangi.

Tak lama, gerumun manusia memasuki stasiun. Begitupun juga denganku langkah demi langkah memantapkan hati yang harus berlaju menuju Jogjakarta.

PRIBUMI REFORMASI

Alam Nusantara begitu tentram
Asri, hijau dan benderang
Tengok kanan kiri
Seluruhnya menentramkan
Surgawi berjalan menjalankan roda keindahan
Bak Manusia selalu dimanjakan dengan yang ada
Begitu juga denganku
Sudah dilahirkan dari perut bumi Nusantara
Tak elok jika meniadakannya
Tak elok jika tak memujinya
Pertiwi bersedih sebab laku
Ia bahagia sebab Sang Kuasa
Para penghianat pertiwi lantas dilaknat saja

Selamat datang Jogjakarta...
Kehadiranku disambut hawa sejuk bersama ranumnya mentari. Sekitar pukul 5 sore, kearifan Jogja semakin menyapaku untuk mengingatkan aku tentang segebok tugas perkuliahan.

Menjadi sarjana hukum ialah impianku sejak kecil, dimana aku sangat tertarik dengan hukum yang ada di Indonesia ini, hukum islam kah? Hukum Belanda kah? Hukum progresif kah? Atau hukum demokrasi? Atau hukum sekuler ? Untuk itulah aku ingin mengetahui tentang sinergi hukum yang ada. Pasalnya, sejarah Indonesia terlampau keren untuk tak ditelisik, semenjak runtuhnya Era Soeharto gejolak perkembangan pebangunan negara ini mengalami fruktuasi adalah hal yang menarik untuk dibidik.

Hukum ?
Positivisme segala yang berlaku
Mangalur gerakan kemanusiaan
Membumung tinggi perihal keadilan, kesejahteraan berkeadilan
Semenjak Proklamasi semangat membara
Ulama’ berjihad
Pahlawan melawan
Santri berjuang
Semenjak reformasi peluang terbuka
Pemerintah melemah
Aparat kepalang
Pemuda Suarakan! Teriakkan! Tuliskan!
Rakyat merakyat

Sebagai Mahasiswa Hukum, nampaknya aku belum mahir menerka apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya diingini para penjilat di negeri tanah liat ini, apa yang sebenarnya ditanam oleh bangsa seberang, penjajah!, untung Tuhan menunjukkan Rahmat-Nya dengan memberikan kemerdekaan pada bangsa ini, jerih payah tokoh nasionalisme, Ulama dan seluruh rakyat Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaannya bukan semata pemberian Bangsa Jepang.

Ingin sekali aku membungkam para penyamun
Ingin sekali aku, Si Kecil melanglangbuana menerkam
Ingin sekali aku membedah ideologi  mereka
Mengambil yang terang
Membuang yang membenang
Katanya bangsaku Toghut, kau yang luput sejarah
Katanya negaraku kafir, kau yang krisis fikir
Katanya bumiku sekuler, kau yang ingin populer
Katanya tanah airku merdeka, aku buktikan merdeka
Hukum, tak lagi Rimba
Di samping nirwana ada berkah para tetua
Ada titah para pelita.

Hari ini hari pertama masuk kuliah pasca libur semester, sudah tahun ketiga aku mematrikan diri untuk menimba ilmu di UII Yogyakarta. Selain menimba ilmu di dalam kelas, juga kujajaki dunia organisasi ekstra yang buat sebagian orang dirasa ekstrim dan tidak berharga. Segala hal memang berbeda nilai dengan cara berfikir yang berbeda. Namun, prinsipku ketika hal itu benar dan tak menghakimi  siapapun, aku akan lakukan itu. Namun, mengingat Pak De yang selalu berharap aku segera menyelesaikan studi ku disini. Lantas aku harus membagi waktu untuk merealisasikan tugas dan kewajiban yang telah kupilih. "Yang Pengen Berhasil Kudu Wani Kangelan" sebaris kalimat itulah yang kurekam ketika Ngaji bersama Kiai Muchsin di pesantren ku dulu.

Kini, hanya itu yang menjadi peganganku menuju kunci suksesku, "dawuh" Kiai ku dan pengharapan Pak De yang juga guruku yang penuh pengharapan terhadap ku untuk menjadi barisan orang-orang yang beruntung serta tentang aku yang tertarik dengan gemeritik cerita bangsa ini.

Harapan hanya sirna ketika berhenti
Harapan hanya redup sebab tak laku lagi
Harapan hanya sisa serpihan ketidakmampuan realis
Harapan bahkan berarti omong kosong ketika tak wujud
Harapan dengan harapan
Sebab garapan harapan hanya berada di dua nama
Bismillah dan alhamdulillah
(to be continuoued PRIBUMI PASCA REFORMASI: Kisahku bersama teman seperjuangan)



TENTANG PENULIS

Rif’atuz Zuhro, lahir di Jombang, 31 Oktober 1995 yang kini menempuh S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Urwatul Wutsqo Jombang. Aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jombang, dan berkontribusi aktif di dunia kepenulisan (berita, opini) di NU Jombang online. Karya “Perjalanan Laku Pribumi” (Bagian I) adalah hasil refleksi penulis, kolaborasi puisi narasi, Bagian ke II akan segera menyusul untuk dipublikasikan.

Penulis juga alumni Workshop Kepenulisan Pusat Studi Pesantren (Center for Pesantren Studies) bisa sharing menulis melalui WA 085646104327, email : Ririfyh7@gmail.com, fb : Ririf Zuhr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar