Rabu, 23 November 2016

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Orang boleh melupakan kiai satu ini tapi sejarah tak mungkin mengalami amnesia.
Dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin — disapa Kang Solihin — diperankan sebagai pembantu kiai [khadim/dalem] yang lucu dan lugu. Sangking ta’zimnya sama kiai, tanpa diminta kiai dan tanpa instruksi Jepang Kiai Solihin meminta sendiri menemani Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari di dalam penjara di Bubutan, Surabaya, selama 4 bulan. Bahkan, seperti diceritakan dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin berlari mengejar dan melompat ke atas truk yang membawa Sang Kiai. [cerita nyata]
Sayangnya, seperti kebanyakan film sejarah di negeri ini, film yang disutradarai Rako Prijanto ini terlihat sekali minim riset. Kiai Solihin tak sekadar pembantu melainkan “tangan kanan” Hadratu Syaikh Kiai Hasyim. Beliau dikenal tegas, pemberani, dan ditakuti santri-santri. Beliaulah, menurut cerita tutur banyak orang, yang membunuh Jenderal Mallaby, dengan kedua jarinya tepat di tenggorokannya. Bukan oleh Harun, tokoh fiktif yang diperankan Adipati Dolken itu.
Kiai Solihin dikenal sakti dan pernah menjadi kepala Pondok Tebuireng. Kesaktian dan keberanian Kiai Solihin sudah diketahui Hadratu Syaikh dan santri-santri. Ada satu cerita, bahwa Kepala Madrasah Tebuireng, Mas Dawam, ditembak mati serdadu Jepang. Jenazahnya dibiarkan tergeletak dan dipertontnkan di alun-alun. Dijaga beberapa serdadu Jepang. Tak satu pun santri berani mengambil.
Hadratu Syaikh Kiai Hasyim menyuruh Kiai Solihin mengambil dan mengurus mayat tersebut. ia hanya dibekali sepucuk pistol milik Gus Kholik putra Hadratu Syaikh.
Hari itu hujan deras. Sebelum berangkat ke alun-alun, Kiai Solihin berhenti di sebuah musholla. Beliau salat sunah dua rakaat. Setelah itu membaca Hizbu Nashar, Hizbu Nawawi, juga Ilmu Penakluk berbahasa Jawa Cirebon. Sampai menjelang maghrib Kiai Solihin baru berangkat ke alun-alun sendiri. Di depan serdadu Jepang yang menjaga jenazah tersebut, Kiai Solihin menembakkan pistolnya ke atas langit. Atas izin Allah SWT., suara pistol tersebut menggelegar seperti suara meriam, hingga membuat ciut nyali tentara Jepang dan mereka lari terbirit-birit. Kiai Solihin lantas membawa mayat tersebut ke Tebuireng untuk dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur.
Kiai Solihin dikenal dekat dengan keluarga Hadratu Syaikh [di samping itu saudara-saudaranya mondok di situ, seperti adiknya sendiri, Kiai Bulkin Fanani, dan kakak iparnya, Kiai Masduki Ali. Juga masih bersaudara dengan Kiai Idris Kamali, menantu Hadratu Syaikh]. Hubungan kekeluargaan tersebut masih terjalin sampai Kiai Solihin pulang ke Kampung Halamannya di Pondok Pesantren babakan Ciwaringin – Cirebon. Gus Kholik, Gus Ya’kub, juga Gus Yusuf sering silaturahmi dan bertandang ke rumahnya. Bahkan, menurut sebuah cerita, Gus Ya’kub sering sekali ke rumah Kiai Solihin untuk meminta Jimat.
Kiai Solihin merupakan putra tertua Kiai Muhammad Amin [Ki Madamin]. Beluiau wafat 17 Agustus 1968 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan di Babakan Ciwaringin Cirebon. Pada saat dimakamkan tak sedikit keluarga Hadratu Syaikh yang hadir dan ikut mendoakan langsung. Kiai Ali — adik Kiai Idris Kamali menantu Hadratu Syaikh — menyebut “hadza sohibussijni Hasyim Asyari” pada saat menalkin beliau menuju peristirahatan terakhirnya.
Pada masa penjajahan Jepang Kyai Sholihin Di berikan amanat oleh Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Sebagai Lurah di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Beliau menjalankan amanat tersebut dengan mengatur dan melaporkan segala rutinitas Pesantren pada Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari walaupun ketika itu teror dan ancaman sering menerpa Pesantren Kang sholihin tak gentar menghadapinya disamping menjalankan amanat Guru beliau juga telah dibekali berbagai ilmu lahir batin dari orang tuanya Kyai Madamin yang notabene seorang Ulama yang besar dari Pesantren Babakan Ciwaringin
Suatu Ketika ada Kejadian di Pesantren Tebu Ireng, salah satu santri Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asyari yang bernama Mas Dawam ditembak oleh tentara Jepang dan Jasadnya digantung di sebuah tempat yang terbuka, yang mana dimaksudkan sebagai bentuk intimidasi pada warga pribumi dan santri untuk tidak melawan karena siapapun yang akan melawan akan bernasib sama seperti itu, sehingga Jasad Syuhada Mas Dawam tidak ada yang berani mengambil.
Dengan Perasaan Duka dan Prihatin Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan Kang Solihin untuk mengambil Jasad Mas Dawam, Dengan Tekad yang kuat beliau menyatakan Siap kemudian Hadrotussyaikh membekali Kang Sholihin dengan sepucuk pistol milik Gus Kholiq.
Dengan berbekal perintah guru dan semangat perjuangan walau dalam keadaan Hujan kang sholihin melangkah untuk mengambil Jasad Syuhada tersebut, sebelum mengambil Jasad tersebut beliau masuk ke sebuah Mushola untuk melaksanakan Sholat dengan dilanjutkan membaca wiridan yang telah diterima dari orang tuaya berupa Hizib Nashor, Hizib Nawawi, Hizib Bahri ditutup dengan Aji Penakluk berbahasa Cirebon.
Setelah selesai beliau Keluar dari Mushola tersebut sambil membawa beberapa jamaah untuk ikut dalam misi tersebut, sesampainya didekat area pegambilan beliau berdiri dan mengangkat pistol dan menembakkan peluru keatas, dengan Izin Allah Suara letusan pistol itu terdengar oleh tentara Jepang bagaikan dentuman meriam, hingga membuat tentara jepang kaget dan bingung hingga lari tunggang laggang hingga menanggalkan senjata yang di pegangnya, Kang Solihin bergegas mengambil Jasad Mas Dawam sementara teman-teman yang lain mengambil senjata yang di tinggalkan tentara Jepang.
Dengan keberanian dan kemampuan Kyai Sholihin, Hadrotussyaikh sering mempercayakan Kang Sholihin untuk mendampingi setiap aktivitas perjuangannya, dikarenakan Putra Cirebon yang dikenal banyak memiliki tokoh yang mumpuni dalam bidang kejadukan yang masih ada dan dianggap mampu dalam hal itu adalah beliau. Dimana Kyai Abbas Buntet dan Kyai Amin Babakan sudah berada di pesantrennya masing masing
Kecintaan dan Ketaatan Kyai Sholihin terus berlangsung hingga Hadrotussyaikh meninggal, beliaulah salah seorang yang jadi saksi kepergian Hadrotussyaikh menuju Sang Pemilik Hidup dengan tenang. Lahuma Al-Fatihah
Sumber:
* Tulisan Jamaluddin Mohammad hasil wawancara dengan Ny. Syamsyiyyah [putri Kiai Solihin], Kiai Makhtum dan Kiai Tamam Kamali [keponakan Kiai Solihin]
* Tulisan Ach. Syaikhu Azmy, MM merupakan Cucu Menantu dan Khodimul Ma’had Assholihin Babakan Ciwaringin Cirebon di pwaansorjabar.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar