Rabu, 23 November 2016

Mbah Mangli

Mbah Mangli
Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama Kyai H. Asykari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah.
Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.
Kyai Hasan Asykari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yg mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.
Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau..
Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan: “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri”
Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.
Mbah mangli juga ikut Toriqoh alawiyah. Beliau sering mengikuti maulid dimasjid arriyad yg dipimpin oleh HABIB ANIS BIN ALWI ALHABSYI setiap malam jumat sejak zaman HABIB ALWI BIN ALI ALHABSYI.
Adapun wiridan wajib dipondok pesantren mangli adalah rotib Alhadad , rotib Alatos dan rotib syakron sampai sekarang.
Mendoakan
Jika ada hal-hal yang mengancam dirinya, dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap.
Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.
Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.
Pesantren Sederhana di Lereng Gunung
PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban.
Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera.
Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75) warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok.
Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN).
Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks (MMC).
”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi.
Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli
SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir.
Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut.
Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli.
Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing (Candi Mulyo), dan lainnya.
Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat.
Keistimewaan Mbah Mangli yang lain, ia dapat mengetahui maksud setiap jamaah yang datang, apa permasalahan mereka dan langsung dapat memberikan nasehat dengan tepat sasaran. Pernah seorang jamaah datang ke pengajian dengan membawa uang ibunya yang semestinya dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangganya. Di tengah pengajian, Mbah Mangli langsung menyindir orang tersebut dan menasehatinya agar uang tersebut dikembalikan dan ia segera memohon maaf kepada ibunya tersebut.
Pernah juga seorang tamu datang ke pesantren Mbah Mangli. Sejak dalam perjalanan sang tamu tersebut sudah membayangkan mendapatkan suguhan buah jeruk yang sangat ranum dan menghilangkan rasa dahaganya selepas menempuh perjalanan jauh. Dan sesampainya di tempat Mbah Mangli, apa yang ia dapatkan? Mbah Mangli benar-benar menyuguhinya dengan hidangan jeruk keprok yang sangat segar. Pucuk dicinta ulampun tiba!
Di jaman itu memang seorang kiai benar-benar diyakini sangat karib dengan Gusti Allah, sehingga ia benar-benar berkedudukan sangat istimewa bahkan dipercaya sebagai waliyullah. Maka tak heran doa seorang ulama kharismatik dipercaya sangat makbul dan mujarab. Inilah barangkali magnet daya tarik sehingga ummat mau mendekat, mendengar setiap nasihat penuh khidmat, dan kemudian berujung kepada pengamalan ajaran agama dengan penuh kemantapan rasa iman dan ketaqwaan. Inilah kunci ketentraman jiwa, lahir dan batin yang akan berdampak luas terhadap ketentraman serta keguyuban masyarakat, bangsa dan negara.
Mbah Mangli akan senantiasa dikenang segala amalan dan jasa baiknya terhadap kemaslakhatan ummat. Segala sifat dan sikap ketawadhuan, kealiman, kesederhanaan, jujur, amanatnya seorang Mbah Mangli akan senantiasa menjadi obor penerang sekaligus cahaya pelita petunjuk jalan bagi segenap ummat yang senantiasa mendambakan keadilan dan ketentraman masyarakat, bangsa dan negara. Spirit dan semangat Mbah Mangli akan selalu hidup abadi du dunia hingga akhir jaman. Apakah kini memang menjelang jaman akhir sehingga Allah mengangkat ilmu-Nya dari permukaan bumi dengan mewafatkan para aulia dan alim ulama yang benar-benar menjadi pewaris para nabi?
sumber:

Abuya Dimyati

Abuya Dimyati adalah kiai dan guru tarekat yang ‘alim dan wara’. Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Bantany yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. Ia lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya (www.nu.or.id, 05 Desember 2012).
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati ini adalah sosok yang kharismatis. Ia dikenal melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Ayah dari Abuya Muhtadi (Kiai Banten yang juga memiliki pengaruh besar di kalangan kiai dan masyarakat) ini merupakan putra dari Syaikh Muhammad Amin. Abuya Dimyati dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Ia juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni, bukan saja mengajarkan ilmu syariah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya juga dikenal sebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Semasa hidupnya, pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Abuya Dimyati mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeusing, Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Plered Cirebon. Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Menurutnya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna di samping sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya Dimyati sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Di Pesantren Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya. Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang unik. Ia secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Ia tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca Al-Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH. Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Sebagai sosok yang dikenal sangat teguh pendiriannya ini, ia pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang di dalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah di dalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Abuya Dimyati meninggal pada tanggal 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib. Umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun (www.kumpulanbiografiulama.wordpress.com).

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Orang boleh melupakan kiai satu ini tapi sejarah tak mungkin mengalami amnesia.
Dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin — disapa Kang Solihin — diperankan sebagai pembantu kiai [khadim/dalem] yang lucu dan lugu. Sangking ta’zimnya sama kiai, tanpa diminta kiai dan tanpa instruksi Jepang Kiai Solihin meminta sendiri menemani Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari di dalam penjara di Bubutan, Surabaya, selama 4 bulan. Bahkan, seperti diceritakan dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin berlari mengejar dan melompat ke atas truk yang membawa Sang Kiai. [cerita nyata]
Sayangnya, seperti kebanyakan film sejarah di negeri ini, film yang disutradarai Rako Prijanto ini terlihat sekali minim riset. Kiai Solihin tak sekadar pembantu melainkan “tangan kanan” Hadratu Syaikh Kiai Hasyim. Beliau dikenal tegas, pemberani, dan ditakuti santri-santri. Beliaulah, menurut cerita tutur banyak orang, yang membunuh Jenderal Mallaby, dengan kedua jarinya tepat di tenggorokannya. Bukan oleh Harun, tokoh fiktif yang diperankan Adipati Dolken itu.
Kiai Solihin dikenal sakti dan pernah menjadi kepala Pondok Tebuireng. Kesaktian dan keberanian Kiai Solihin sudah diketahui Hadratu Syaikh dan santri-santri. Ada satu cerita, bahwa Kepala Madrasah Tebuireng, Mas Dawam, ditembak mati serdadu Jepang. Jenazahnya dibiarkan tergeletak dan dipertontnkan di alun-alun. Dijaga beberapa serdadu Jepang. Tak satu pun santri berani mengambil.
Hadratu Syaikh Kiai Hasyim menyuruh Kiai Solihin mengambil dan mengurus mayat tersebut. ia hanya dibekali sepucuk pistol milik Gus Kholik putra Hadratu Syaikh.
Hari itu hujan deras. Sebelum berangkat ke alun-alun, Kiai Solihin berhenti di sebuah musholla. Beliau salat sunah dua rakaat. Setelah itu membaca Hizbu Nashar, Hizbu Nawawi, juga Ilmu Penakluk berbahasa Jawa Cirebon. Sampai menjelang maghrib Kiai Solihin baru berangkat ke alun-alun sendiri. Di depan serdadu Jepang yang menjaga jenazah tersebut, Kiai Solihin menembakkan pistolnya ke atas langit. Atas izin Allah SWT., suara pistol tersebut menggelegar seperti suara meriam, hingga membuat ciut nyali tentara Jepang dan mereka lari terbirit-birit. Kiai Solihin lantas membawa mayat tersebut ke Tebuireng untuk dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur.
Kiai Solihin dikenal dekat dengan keluarga Hadratu Syaikh [di samping itu saudara-saudaranya mondok di situ, seperti adiknya sendiri, Kiai Bulkin Fanani, dan kakak iparnya, Kiai Masduki Ali. Juga masih bersaudara dengan Kiai Idris Kamali, menantu Hadratu Syaikh]. Hubungan kekeluargaan tersebut masih terjalin sampai Kiai Solihin pulang ke Kampung Halamannya di Pondok Pesantren babakan Ciwaringin – Cirebon. Gus Kholik, Gus Ya’kub, juga Gus Yusuf sering silaturahmi dan bertandang ke rumahnya. Bahkan, menurut sebuah cerita, Gus Ya’kub sering sekali ke rumah Kiai Solihin untuk meminta Jimat.
Kiai Solihin merupakan putra tertua Kiai Muhammad Amin [Ki Madamin]. Beluiau wafat 17 Agustus 1968 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan di Babakan Ciwaringin Cirebon. Pada saat dimakamkan tak sedikit keluarga Hadratu Syaikh yang hadir dan ikut mendoakan langsung. Kiai Ali — adik Kiai Idris Kamali menantu Hadratu Syaikh — menyebut “hadza sohibussijni Hasyim Asyari” pada saat menalkin beliau menuju peristirahatan terakhirnya.
Pada masa penjajahan Jepang Kyai Sholihin Di berikan amanat oleh Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Sebagai Lurah di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Beliau menjalankan amanat tersebut dengan mengatur dan melaporkan segala rutinitas Pesantren pada Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari walaupun ketika itu teror dan ancaman sering menerpa Pesantren Kang sholihin tak gentar menghadapinya disamping menjalankan amanat Guru beliau juga telah dibekali berbagai ilmu lahir batin dari orang tuanya Kyai Madamin yang notabene seorang Ulama yang besar dari Pesantren Babakan Ciwaringin
Suatu Ketika ada Kejadian di Pesantren Tebu Ireng, salah satu santri Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asyari yang bernama Mas Dawam ditembak oleh tentara Jepang dan Jasadnya digantung di sebuah tempat yang terbuka, yang mana dimaksudkan sebagai bentuk intimidasi pada warga pribumi dan santri untuk tidak melawan karena siapapun yang akan melawan akan bernasib sama seperti itu, sehingga Jasad Syuhada Mas Dawam tidak ada yang berani mengambil.
Dengan Perasaan Duka dan Prihatin Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan Kang Solihin untuk mengambil Jasad Mas Dawam, Dengan Tekad yang kuat beliau menyatakan Siap kemudian Hadrotussyaikh membekali Kang Sholihin dengan sepucuk pistol milik Gus Kholiq.
Dengan berbekal perintah guru dan semangat perjuangan walau dalam keadaan Hujan kang sholihin melangkah untuk mengambil Jasad Syuhada tersebut, sebelum mengambil Jasad tersebut beliau masuk ke sebuah Mushola untuk melaksanakan Sholat dengan dilanjutkan membaca wiridan yang telah diterima dari orang tuaya berupa Hizib Nashor, Hizib Nawawi, Hizib Bahri ditutup dengan Aji Penakluk berbahasa Cirebon.
Setelah selesai beliau Keluar dari Mushola tersebut sambil membawa beberapa jamaah untuk ikut dalam misi tersebut, sesampainya didekat area pegambilan beliau berdiri dan mengangkat pistol dan menembakkan peluru keatas, dengan Izin Allah Suara letusan pistol itu terdengar oleh tentara Jepang bagaikan dentuman meriam, hingga membuat tentara jepang kaget dan bingung hingga lari tunggang laggang hingga menanggalkan senjata yang di pegangnya, Kang Solihin bergegas mengambil Jasad Mas Dawam sementara teman-teman yang lain mengambil senjata yang di tinggalkan tentara Jepang.
Dengan keberanian dan kemampuan Kyai Sholihin, Hadrotussyaikh sering mempercayakan Kang Sholihin untuk mendampingi setiap aktivitas perjuangannya, dikarenakan Putra Cirebon yang dikenal banyak memiliki tokoh yang mumpuni dalam bidang kejadukan yang masih ada dan dianggap mampu dalam hal itu adalah beliau. Dimana Kyai Abbas Buntet dan Kyai Amin Babakan sudah berada di pesantrennya masing masing
Kecintaan dan Ketaatan Kyai Sholihin terus berlangsung hingga Hadrotussyaikh meninggal, beliaulah salah seorang yang jadi saksi kepergian Hadrotussyaikh menuju Sang Pemilik Hidup dengan tenang. Lahuma Al-Fatihah
Sumber:
* Tulisan Jamaluddin Mohammad hasil wawancara dengan Ny. Syamsyiyyah [putri Kiai Solihin], Kiai Makhtum dan Kiai Tamam Kamali [keponakan Kiai Solihin]
* Tulisan Ach. Syaikhu Azmy, MM merupakan Cucu Menantu dan Khodimul Ma’had Assholihin Babakan Ciwaringin Cirebon di pwaansorjabar.org