SECARIK HARAPAN
Oleh: Nafa
Najiha
Editor:
Mahmudatur Rohmah
Thanks to
·
Allah Swt. Tanpa-Nya, mungkin
tulisan ini takkan bias terlahir.
·
Guru-guruku yang telah banyak
memberikan ilmunya, yang kami harapkan barokah do`anya.
·
Keluarga di Jambi, yang selalu
memberi kasih sayang dan motivasi”nya.
·
Orang-orang yang pernah hadir
dikehidupanku, baik yang pernah menyayangiku maupun yang menyakitiku.
·
Temanku Rochmah, terimakasih sudah
memberikan motivasi, kritik dan sarannya. Sekaligus menjadi editor naskahku.
·
Mbak lia, mbak iim, terimakasih
telah membantu mengetikkan dikala kesempitanku.
·
PSP yang sudah memberikan wadah para santriyin
untuk menjadi calon penulis.
·
Teman-temanku PSP, PPTQ, STAIN PO,
yang sudah banyak memberikan motivasi dan dukungannya.
Daftar Isi
1.
Tekad
2.
Cinta Pertama
3.
Melarikan Diri
4.
Pacar Belum Tentu Jodoh
5.
Dilema
6.
Assalamualaikum PPTQ
7.
Harus Bertahan
8.
Kota Impian
9.
Love in the Silent
10.
Surat untuk Sang Jodoh
11.
Secarik Harapan dan Rindu
12.
Ku Sambut Pinanganmu
Fiya 13 tahun, juni 2000.
Tekad
Disebuah kampung yang masih terlihat tumbuh-tumbuhan nan hijau.
Dimana tempat yang masih banyak hewan liar seperti babi, kijang, dan anjing.
Disitulah aku hidup, tak pernah kurasakan
berlibur di pantai. Saat itu, aku mempunyai tekad untuk berlibur ke pantai.
Tapi, ayahku belum bisa menuruti kemauanku itu, karena keadaan rumahku yang
jauh dari pesisir dan kondisiku dari keluarga yang sederhana.
“Ayah, kapan Fiya bisa berlibur ke pantai???”rengekku
dengan wajah melas dan mata berkaca-kaca.
“Sabar ya nak, ayah belum punya biaya
untuk mengajakmu liburan. Ayah yakin, suatu saat kau pasti bisa berlibur ke
pantai.”
Aku hanya terdiam. Menangis dan berlari
ke kamar.
Selang lima belas menit aku pergi ke kamar, ayahku mengetuk pintu dan memanggilku untuk keluar.
“Fiya, keluarlah nak…??? Pak De mu
datang dari jawa.”
“Iya, yah! Bentar lagi.”Aku berjalan
pelan menuju ruang tamu dengan wajah
malu, karena mataku sedikit memerah.
“Ini anakmu yang ke berapa Nar?”, ujar
Pak De.
“Ini Fiya, anakku yang ke dua.” Jawab
ayahku.
“Fiya, habis menangis ya???kenapa kamu
menangis cah ayu??” Tanya Pak De. Aku terdiam dan tak mampu untuk menjawab.
Akhirnya, ayahku yang menjawab pertanyaan Pak De.
“Kronologinya seperti ini lo Pak De.
Tadi, Fiya merengek ingin sekali untuk bisa berlibur dipantai. Tapi, aku belum
bisa menurutinya. Makanya ia menangis.” Ujar ayahku.
“Owalah nduk, kamu pengen berlibur ke
pantai ya?” Ujar Pak De.
Aku mengangukkan kepala.
“Mau ikut Pak De ke jawa? Nanti disana
kamu bisa berlibur ke pantai.” Tawar Pak De.
Dengan wajah polosku, aku langsung
mengangukkan kepala dan tersenyum kecil.
“Tapi, Fiya harus sekolah dan mondok di
Jawa ya!” Pinta ayahku.
“Iya yah. Insyaallah Fiya mau.”
Akhirnya, aku pergi ke Jawa bersama Pak De.
Sesampainya di jawa. Tetes air mata terus mengalir dipipku, aku
merasa belum rela jauh dengan kedua orang tuaku. Itu menjadi resiko. Karena aku
yang meminta dan menerima untuk ikut dengan Pak De. Hidupku kini berbanding terbalik
dengan dahulu, aku harus hidup mandiri, tak ada lagi yang menyucikan bajuku dan
tak ada lagi yang membuatkan masakan enak untukku.
Suasana yang terasa panas dan bau tak sedap menyengat hidungku.
Dengan hidung nyengir-nyengir karena menahan bau, aku bertanya pada temen pondokku.
“Ini bau apaan sih mbk???”, tanyaku.
“Ini bau ampas telo. Berasal dari pabrik pembuatan tepung pati. Udahlah
mbk, nggak usah kemayu! Hidup
didesa emang seperti ini.”
“Ampun deh, baunya ngalah-ngalahin selokan.” Ledekku.
“Haha, kamu ini ada-ada aja. Mungkin kamu belum terbiasa.”
“Iya mbk.” Jawabku.
“Dek Fi, dipondok wajib memakai sarung lho.” Ujar mbk Rina salah
satu keamanan pondok.
“Iya to mbk?? Tapi, aku belum bisa pakai sarung.”
“Gampang. Nanti belajar sama mbak-mbaknya kan bisa.”
“Nggeh mbak.”
Di pondok Nurul Ihsan, tepatnya didaerah Ngemplak Jawa Tengah yang masih sederhana ini, memiliki jumlah santri yang sedikit. Keakraban
dan kedekatan dengan keluarga ndalem atau keluarga pengasuh pondok
sangat terasa. Banyak hal baru yang kudapatkan dan kutemui disini. Walau harus
banyak beradaptasi. Apalagi sifatku yang agak pendiam dan mudah tersinggung.
Suasana kelas dengan keramaian teman-temanku yang sedang menghafal
tasrifan utusan dari ustadz, sedangkan aku masih belum mengenal apa itu ilmu
shorof. Aku hanya terbengong dan diam mendengarkan hafalan teman-temanku. Aku
merasa bodoh sendiri!
Semenjak itu pula, aku mulai bangkit dari kebodohanku. Aku tak boleh
ketinggalan jauh dari teman-temanku. Setiap ada waktu kosong, aku meluangkan
dan menyempatkan diri untuk belajar sebentar. Tak lupa belajar LKS bahasa Arab,
pelajaraan yang menurutku asing tapi mengasyikkan.
Malam nanti adalah acara Muhadoroh untuk santri baru. Dan
aku adalah salah satu petugas Muhadoroh. Malam semakin terasa, waktu
semakin mendekati kegiatan Muhadoroh. Terasa gemetar bercampur keringat
dingin, saat aku membacakan pidato didepan teman-teman santriwati. Malu bukan
main hati ini.
Setelah usai Muhadoroh, aku mendengar mbak-mbak pada
ngomongin aku. Hufft…Sebel!! Aku berlari ke kamar mandi dan menangis. Tak lupa aku
menghidupkan kran agar isak tangisku tak terdengar dari luar.
Malam menjadi saksi. Malam menjadi
sunyi. Malam mulai lelah. Malam membuatku takut dan mengajakku tidur. Agar
melupakan masalah yang baru saja terjadi.
****
CINTA PERTAMA
Terlihat segerombolan anak laki-laki sedang berebut bola dengan
lawannya. Angin sepoi-sepoi mengindahkan suasana pemandanganku terhadap
permainan sepak bola.
“Hai Fiya”. Suara Zizah mengagetkanku.
“Emm, Fiy dapat salam dari Fadhil”, lanjutnya.
“Salam apa emang? Kamu ini ada-ada aja deh”
“Aku serius, nggak bohong. Itu dia lagi jaga gawang. Dia minta
nomermu Fiy”.
Bagiku dia bukanlah seseorang yang asing lagi. Pernah sempat
mengaguminya. Dia yang beperawakan kecil, hitam manis, pintar kaligrafi dan
santun. Dia bukan santri tapi dia nyantri dipondokku. Sayangnya dia lebih muda
dua bulan dariku. Akupun tak mau gengsi, akhirnya aku terima cintanya ketika
dia mengungkapkan perasaannya padaku.
Kau cinta pertamaku
Kau yang pertama warnai hatiku
Kau yang pertama
Kau yang kuterima
Oh Tuhan..
Jagalah cinta kami hingga akhir nanti!
“Hai Fiy!” Sapa Fadhil dalam via sms.
“Iy Dhil”
“Wahai rinduku, belumkah engkau mengantuk?”
“Belum, aku belum ingin tidur”
“Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Sejak aku yakin kamu
yang terbaik untukku.”
“Love you too. Maaf, aku kehabisan kata untuk menjelaskan cinta ini.”
“ya sudah, tak perlu kau jelaskan. Aku sudah mengerti. Sudah malam,
cepat bobok! Jangan lupa berdoa! Miss you.”
“Miss you too”
Entah mengapa hatiku sudah terpikat olehnya. Serasa bunga-bunga ini
bermekaran. Kubiarkan cinta ini mengalir. Kubiarkan fadhil mengisi kekosongan
hatiku. Akupun tertidur dengan kehangatan selimut yang menutupi tubuhku.
Kring kring kring, terdengar suara pesan masuk. Akupun lantas
bangun. Aku baca sms itu.
“Sayang, ayo bangun sholat tahajud!” Akupun lantas bangun, untuk
mengambil wudlu dan pergi sholat tahajud kemudian kembali tidur.
Itulah perhatiannya, dia yang paling kusuka. Dia mencoba bangunkan
aku untuk sholat malam. Walaupun sehabis itu aku kembali tidur. Hehe..
“Fiy, bangun! Keburu siang.” Ujar Pak De untuk membangunkan aku.
“Nggeh Pak De”
Itulah kekuranganku. Kalau sudah tidur sangat pulas, kalau nggak
dibangunin ya nggak bangun. Hehe..
“Hai Fiy!” sapa temenku Sela.
“Hai juga Sel. Gimana kabarmu? Lama tak jumpa.”
“Alhamdulillah baik Fiy. Gimana liburanmu kemarin?”
“Sangat menyenangkan. Rasanya masih nggak mau balik ke pondok,
hehe”
“Oh ya, aku hampir lupa. Ini kamu dapat kado dari si Fadhil” Sambil
menyodorkan sebuah kado kepadaku.
“iya, sampaikan salamku terima kasih ya!”
“oke, sip.”
Isi surat dalam kado:
Barokalloh cantik.
Semoga sehat selalu, diberi keberkahan dalam segalanya. Sukses
untuk semuanya. Semoga kalung dan gelang ini menjadi saksi cinta kita. Semoga
bisa sedikit mengobati rindu kalau ingin bertemu. Semoga hubungan kita bisa langeng
hingga kelak.
Maaf belum bisa memberikan kado yang terbaik.
Miss you..
Senang!!! Dapat surat dan kado. Tapi aku takut kalau ada
pemeriksaan dari keamanan pondok. Pasti suratnya bakal disita. Karena itulah,
surat itu pun kusembunyikan diatas saku baju yang sudah kulipat rapi dilemari
agar tidak ketahuan.
Melihat kado itu, membuatku teringat senyum manisnya ketika
berangkat sekolah. Aku bahagia dan tambah semangat pergi ke sekolah.
“Cinta kita tak pernah bersanding dekat. Bersanding dari jauh tapi
dekat dihati. Cinta kita tidak pernah berbicara dengan lisan, tapi berbicara
dalam tulisan. Cinta kita terjaga oleh dinding pesantren.” Gumamku dalam hati.
Juni,
2004.
MELARIKAN DIRI
Terasa hati tersiksa, terpukul, dan menangis. Rasa yang tak bisa
dibohongi oleh hati. Rasa yang menyiksa seperti dalam penjara.
“Fiya, dari tadi kok dikamar saja? Mbok yo bantu-bantu Bude
kamu masak!” Ujar Pak De.
“Nggeh Pak De” Aku pun berdiri dan melangkahkan kaki menuju
dapur.
“Masak nopo Bude?”
“Mau masak sayur santen. Kui kambile, paruten!”
“Nggeh Bude.” Aku pun membantu Bude untuk memarut kambil.
“Fiy.. Fiy kamu kok koyo putri solo. Marut kambil ae suwe
banget. Wes wes malah nyuwen-nyuweni”
Aku pun bingung, apa yang harus aku lakukan saat itu. Ya sudah, aku
pun langsung balik ke kamar. Rasanya lagsung sesak saat dikatain budeku kayak
gitu. Orang tuaku saja tidak pernah mengataiku seperti itu. Ya dimaklum saja, kan
masih belajar memasak.
“Rasanya serba salah. Ngelakuin ini salah, itu salah. Terus aku itu
yang bener gimana?” Gerutuku dalam hati
Kalau kayak gini terus aku jadi pengen pulang.
“Fiya!” panggil Budeku.
“Dalem Bude”
“Anterin makanan ini kesawah ya!”
“Nggeh Bude”
Dalam perjalanan menuju ke sawah, aku menikmati udara yang begitu
sejuk dengan semilir angin dan suara kicauan burung.
“Pak De ini makanannya.”
“Iya nduk, matur suwun”
Aku istirahat sebentar digubuk sawah sambil ngesis dan nggusahi
burung-burung disawah.
“Pak De. Nanti Fiya di anterin ke pondok ya!”
“Iya. Tapi nanti sehabis pulang dari sawah ya!”
“Nggeh Pak De.”
Sewaktu aku masih packing-packing untuk berangkat ke pondok, Budeku
menanyaiku.
“Fiy, cepat nikah saja lo.! Biar nggak nyusahin bapakmu, sakit-sakitan
ae ngentekno duwite wong tuwo.” Jleb, ujar Budeku.
Membuatku kaget dan sedikit malu.
hehe, Bude ini kok, isih cilik De. Sekolah riyen lah.
Gumamku dalam hati.
“Bude. Fiya Pamit riyen nggeh”
“Yo. Iki jajane bawanen neng pondok!”
“Suwun Bude. Assalamualaikum.” Sebenernya Budeku ini
dermawan tapi kadang-kadang omongane nyelekitne ati .. Batinku sambil
melangkah meninggalkan kediaman Pak De dan Budeku.
“Habis kelas 3 MTS mau kemana Fiya?” Ujar ayahku.
“Fiya pengen pindah yah.”
“Lha kenapa nggak di terusin di situ saja?”
“Pengen, tapi Fiya udah nggak betah disini. Fiya pengen pindah ke
Bogor.”
“Tapi nanti di Bogor nggak ada saudara lho.”
“Nggak apa-apa yah, Fiya berani. Liburan nggak pulang juga nggak apa-apa,
di pondok kan masih ada temen yang piket liburan , yang penting Fiya pindah
sekolah yah”
“Iya nak, kalau itu keinginanmu dan itu yang terbaik buatmu, ayah merestuimu.”
Akhirnya, akupun bebas dari mereka. Aku melarikan diri untuk pindah
sekolah, sebenarnya nggak boleh sama Pak De dan Budeku, alasannya jauh dan
nanti nggak ada yang jenguk, tapi aku tetap memaksa untuk pindah.
Yes… yes … beeeebaaaas ….. Gumamku
ketika pulang dari Jawa Tengah.
Agustus, 2004.
“Pacar belum tentu jodoh”
Tak tau apa yang ku pikirkan saat itu. Saat aku sudah pindah dari
pati. LDR atau cinta jarak jauh, bisakah aku melalui itu semua? Bisakah aku
menahan kerinduan ini? Sedangkan obatnya rindu adalah bertemu.
Dia, apakah dia bisa menjaga cinta jarak jauh????
Mungkinkah kelak dia akan menajadi jodohku???
Akankah aku menikah dengan laki-laki yang lebih muda dariku dua
bulan???
Apakah mungkin dia bisa lebih dewasa dari padaku???
Setelah dipikir-pikir, lebih
baik aku putus dengannya. Aku harus segera bilang kepada fadhil. Sebelum cinta
itu terlanjur. Sebelum semua akan lebih sakit.
“Assalamualaikum Fadhil???
Sebelumnya aku minta maaf??? Sebaiknya hubungan kita berhenti
sampai disini dulu.”
“Waalaikum salam Fiya,,,
Kenapa engkau berfikiran seperti itu Fiy?? Apakah kau sudah
menemukan laki-laki yang lebih baik dariku??”
“Tidak. Bukan seperti itu Fadhil. Aku hanya ingin lebih fokus untuk
mengaji dan sekolah.”
“Fiya, kenapa kau tega hancurkan hatiku???”
“Nggak fadhil. Kau harus mengerti! Aku masih mencintaimu, tapi aku
harus fokus pada sekolahku. Yakinlah!!! Jika kita berjodoh kita pasti akan
bertemu.
Maafkan aku fadhil???”
“Kamu jahat Fiy. Bukan seperti ini caranya.”
“Ku mohon kau mengerti fadhil! Aku yakin engkau akan mendapatkan
gadis yang lebih baik dariku.
Hubungan kita berakhir sampai disini. Biarkan aku memantaskan
diriku untuk menanti sang jodoh yang
pasti. Sebelum kita melangkah lebih jauh. Aku tak ingin menyakitimu
lebih dalam. Karena engkau belum tentu jodohku.”
Ngejomblo aja dulu deh. Sembari menanti sang jodoh, lebih baik
menyibukkan diri dengan memantaskan diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Memantapkan hati dengan membangun cinta untuk sang jodoh.
Ingat!!! PACAR
BELUM TENTU JODOH.
April, 2007.
“Dilema”
Suatu perjuangan untuk melanjutkan perjuangan atau berhenti sampai
disini. Hidup adalah perjuangan yang harus diperjuangkan. Apalah arti hidup
jika perjuangan berhenti tiada arti?
“Nak, kamu mau nerusin sekolah dimana?” Tanya ayahku.
“Fiya, belum ingin kuliah yah. Fiya ingin mondok dulu saja. Sehabis
mondok baru kuliah.”
“Ooo…ya sudah kalau itu yang kamu inginkan nak. Ayah nurut saja.”
Teman-temanku pada pusing mikir nerusin kuliah dimana. Bingung
dengan jalur-jalur yang ditempuhnya, dan menanti kepastian diterima atau
tidaknya. Alhamdulillah aku tak perlu pusing memikirkan tentang kuliah. Karena
aku sudah tenang dengan pilihanku untuk nerusin di pondok.
“Wahhh kamu
enak ya Fiy.” Ujar fisa.
“Enak kenapa??”
Ya…kamu tak perlu pusing-pusing mikirin jalur kuliah dan menanti
kepastian diterima atau tidaknya.”
“Iya lah. Karena tujuanku sudah pasti dan aku merasa tenang dengan
seperti ini.”
Malam ini adalah malam penantian teman-temanku menunggu jawaban
penerimaan jalur SPAN/SNMPTM. Semua pada khawatir menanti jawaban.
Aku hanya tolah toleh, bingung melihat sikap mereka yang mondar
mandir dengan menggenggam hand phone masing-masing, untuk menanti sms diterima
atau tidaknya.
Suasana tegang! Hening!
Teng…teng…teng…! Suara jam menunjukkan pukul 24.00. Dimana waktu
yang mereka tunggu-tunggu.
Bismillahirrohmanirrohim, dengan kompak mereka ucapkan basmalah
saat buka sms.
“Yess…aku diterima jalur SNMPTN di Trunojoyo.” Ujar Fika.
“Yess…aku diterima jalur SPAN di UIN Suka (Sunan Kalijaga).” Ujar Kaila.
“Hei fir…gimana denganmu??” tanyaku pada Fira melihat ekspresi
mukanya yang berbeda dari teman-teman,
“Aku tidak diterima Fiy.”
“Sudahlah. Bersabarlah! Saat ini kamu belum beruntung. Kan masih
ada SBMPTN. Kamu harus coba itu!” Ujarku.
“Iya Fiy, benar katamu. Aku harus coba itu. Siapa tau aku
beruntung.”
“Nah, gitu lho yang semangat!!”
Malam sudah berganti pagi. Sang matahari sudah menampakkan dirinya.
Aku dan teman-teman masih belum bangkit dari tempat tidur, walaupun tadi sudah
subuhan. Mungkin efek tadi malam. Semua badan terasa lelah dan capek.
Suara ringtone hpku berbunyi. Ayahku menelefon.
“Nak, ayah berubah pikiran. Bagaimana jika kamu mondok sekalian
kuliah?” Suara ayah terdengar jelas ditelingaku.
“Jika ini pilihan ayah dan yang terbaik buat Fiya, Insyaallah Fiya mau melanjutkan mondok dengan
kuliah.”
“Tapi, kenapa tiba-tiba ayah berubah pikiran???” Sambungku
penasaran.
“Gini lho fiy, sekarangkan sudah zaman modern, pendidikan semakin
maju, kebutuhan kita tentang pendidikan pun juga harus maju. Sekarang kita
harus bisa seimbang. Mondok dapat, kuliah juga dapat.
Jangan sampai kita itu ketinggalan zaman, tetapi jangan pula kamu
mengikuti zaman. Untuk tempat dan jalur kuliah, ayah serahkan sama kamu.”
Terang ayah.
“Iya, yah. Insyaallah fiya ingin ikut jalur SBMPTN.”
“Ya sudah, pikirkan semua baik-baik! Kamu pasti lebih tau yang terbaik
untukmu. Do’a ayah menyertaimu. Semoga diberi kelancaran. Amin”
Ketika hati mulai dibalut oleh kebimbangan. Dilema antara kampus
dan jurusan apa yang harus ku pilih. Sebenarnya ingin sekali bisa kuliah dekat
orang tua, tapi sayang, tak ada tempat yang pasti untuk mondok tahfidz. Dimana?? Disisi lain aku ingin sekali mondok
di daerah bogor, yang terkenal udaranya sejuk dan nyaman. Aku yakin aku pasti
betah disana, tapi dua pilihan tersebut sulit untukku mencari informasi yang
jelas dan pasti. Lagi pula aku tak punya kenalan satu pun di sana. Akhirnya dua
pilihat tersebut ku abaikan.
Akhirnya, aku memilih kuliah untuk jalur SBMPTN di UIN suka (Sunan
Klijaga), Universitas Jambi, dan UIN Malang.
Senin pagi, seharusnya
aku sudah pergi ke sekolahan untuk mendaftar SBMPTN yang berakhir jam 12.00
siang. Tapi, pagi itu aku harus bantu-bantu di ndalem untuk acara
pengajian umum yang akan dihadiri oleh Kyai Anwar Zaid.
Setelah selesai dari ndalem aku pun langsung mengerjakan
sholat dzuhur.
“Oww iya, aku harus mendaftar sekarang juga. Aku harus pergi ke
sekolahan sekarang.” Pikirku. Saat aku tiba disekolah , aku langsung menghadap
komputer untuk memulai mendaftar.
Aku pun baca keterangan paling atas.
Maaf anda sudah tidak bisa mendaftar. Waktu telah berakhir senin
pukul 12.00 WIB.
“Fir, aku terlambat mendaftar.” Ujarku dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Lohh,,, kok bisa? Kamu dari mana aja dari tadi, kok baru nongol?
Ya Sudah jangan bersedih!”
Aku lupa kalau pendaftaran berakhir jam 12.00 siang. Dari tadi aku rewang
di ndalem untuk acara pengajian nanti malam.”
“Sudahlah, jangan disesali! Waktu tak kan bisa kembali.”
“Iya Fir, aku akan ikut jalur regular saja.”
Mungkin takdir. Jika Allah belum menghendaki, semua belum berjalan
dengan lancar. Tak boleh putus asa. Karena Allah memberikan banyak cara untuk
mendapatkan kesuksesan.
Pada akhirnya, aku mencari pondok yang dekat dengan kuliah dan
mencoba untuk mencari informasi.
Terlihat sosok yang berbadan tinggi, berkaca mata, sedang menyiram
bunga. Sepertinya dia kuliah.
“Mbak…???” Panggilku.
“Iya dek, ada apa??”
“Mau tanya nih, mbk tau nggak pondok qur`an yang dekat dengan
kampus???”
“Di Jogja ada dek.” Mendengar hal itu, tumbuh semangat untuk segera
kembali melanjutkan pengalaman mondokku di tempat yang baru.
“Pondok al-Iman lumayan dekat dengan kampus. Aku punya teman
disana, biasanya untuk perjalanan ke kampus dia naik sepeda ontel.” Jelasnya.
“Oke makasih mbak.”
Dengan berbagai usaha yang telah ku lalui dan kegagalan telah
kulewati, kini telah kutemukan tempat yang tepat.
Kini pohon-pohon itu sudah melewati musim gugurnya. Pohon-pohon itu
akan memulai untuk bersemi lagi. Percayakan semua pada Tuhan! Setelah kesulitan
pasti ada kemudahan. Siapa yang berusaha pasti akan menuai hasilnya.
Juni, 2007.
“Assalamualaikum PPTQ (ponpes tahfidzul
qur`an)”
Ahlan wasahlan pesantrenku. Akhirnya aku bisa singgah bersama
orang-orang yang menghafal al-qur`an. Ketenangan dan ketentraman sangat kurasa
ketika samping kanan dan kiriku terdengar lantunan al-qur`an. Berkumpul bersama
orang-orang shalih yang indah dengan pakaian santrinya. Jiwa yang ramah tamah,
membawa ketenangan dalam hati.
Awal juni, aku diantar oleh ayahku yang jauh dari pulau seberang
hanya untuk memindahkanku ke pesantren ini. Lalu aku dititipkan oleh abah Kyai Irsyad.
Aku berjalan dan melihat seluruh sudut pondok. Terlihat ruang kamar yang
berukuran kecil dihuni oleh banyak santri. Ruang dapur yang setiap sudutnya
sudah terlihat hitam pekat, begitu juga dengan wajan-wajan dan pancinya. Namun
disana terdapat taman bunga yang indah dengan berbagai bentuk bunga.
Mentari pagi itu, menyapaku dengan senyuman indahnya. Aku pun
membalasnya dengan senyuman juga. Embun pagi yang memberikan kesejukan kepada
seluruh santri. Kegiatan senam pagi dengan senam indahnya santri. Begitu indah
dan asyik pagi itu.
“Dek, namanya siapa??? Kok baru lihat?” Tanya mbk santri.
“Alfiyatur Rosyidah.” Jawabku seketika itu.
“Mbak sendiri siapa??” Lanjutku tak mau kalah.
“Qurotun Nada. Salam kenal ya dek! Dibetah-betahin dipondok.”
“Iya mbak . Insyaallah.”
Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak sekali. Aku bingung harus bilang
ke siapa. Saudara saja tak punya.
Aku mulai tak tahan dengan sesakku, hingga air mata pun menetes dan
isak tangisku terdengar oleh mbak-mbak santri.
“Kenapa dek??? Kamu sakit ya???” Tanya mbk Nada.
“Iya mbk. Asmaku kambuh lagi. Obatku habis.”
“Ya sudah, nanti aku belikan. Kalau ada apa-apa bilang aja ke mbak
nggak papa, nggak usah sungkan atau takut. Anggap aja saudara sendiri!!”
“Isak tangisku semakin menderu. Aku merasa terharu atas
kepeduliannya terhadapku, walau dia bukan saudara kandungku.”
Terkadang, kasih sayanglah yang membuat aku mampu bertahan, menahan
rasa sakit atau cobaan yang datang.
Besok adalah hari ultahku…
Aku mulai gelisah. Adakah orang yang akan memberikan surprise dan kado
untukku, seperti waktu aku dirumah. Do`aku, ya Allah, dekatkanlah aku bersama
orang-orang yang menyayangiku dan yang aku sayangi!!
Aku iri dengan temanku, ketika ultah dirayakan bersama keluarganya
dan orang-orang terdekatnya. Sedangkan aku??? Mungkinkah??? Sedangkan aku jauh
dari mereka, orang tuaku.
Malam semakin sunyi, galau semakin merana. Sepertinya semua orang
tak ada yang mengetahui hari ultahku,
walaupun tau mugkin mereka tak peduli!
Malam itu aku terlelap tidur dalam kegalauanku. Prok…prok. Suara
tepuk tangan. Aku terbangun. Gelap! Hening! Lalu kulihat cahaya lilin dari arah
pintu. Dengan sebuah kue tart ulang tahun.
“Happy Birth`day Fiya. Barokallah cantik. Selamat tambah umur ya! Semoga
lebih dewasa dan nggak cengeng lagi. Hehehe” Ucap mbak Nada.
Sesuatu yang tak pernah kuduga. Sesuatu yang mengesankan untuk
pertama kalinya aku di PPTQ.
Aku sayangi mereka seperti kakakku sendiri. Aku sayangi mereka
seperti keluargaku sendiri.
Ketika malam mulai dibalut oleh kerinduan. Rindu kian mengembara ke
seberang sana. Malam mengingatkanku pada masa lalu bersama mereka, yang pertama
kali memberikan kasih sayang padaku.
“Harus bertahan”
Hidup itu harus diperjuangkan, untuk mengapai kehidupan yang lebih
baik dan diinginkan. Tak merasa putus asa, tapi mungkin hanya merasa sedikit
lelah. Dengan sepeda ontelku yang berwarna pink, aku pergi ke kampus.
Langkah demi langkah , ku susuri setiap jalan, walau dengan nafas
yang tak beraturan, sedikit terengah-engah. Sepedaku melaju lebih cepat. Aku
seperti dikejar oleh waktu dan katena sikap dosen yang sangat disiplin itu. Tak
lupa aku bawa ventolin buat jaga-jaga sewaktu asmaku kambuh.
Settt.. Alhamdulillah sampai. Ku ketuk pintu kelas dan ku ucap
salam.
Tok, tok, tok. Assalamualaikum???
Beliau yang berpawakan tinggi, dengan wajah yang marah, dan kesal
dengan sikapku yang terlambat, dengan melambaikan
tangan dan berkata. “Sudah! keluar saja kau! Ganggu temennya belajar aja. Ini
sudah jam berapa???”
Aku pun langsung keluar dan menutup pintu.
Huft, udah tadi buru-buru, capek, sampai sini diusir! Gerutuku.
Satu kesalahan semoga tidak terulang lagi.
Allahu Akbar,
Allahu Akbar..
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Sudah ku dengar adzan
dzuhur, waktunya balik ke pondok, habis itu setoran hafalan ke Abah Kyai.
Teng…teng…teng… Suara bel setoran hafalan. Baru saja datang sudah disambut
bel ngaji. Waduh.. Waduh, belum
ngelanyahin hafalan, semangat-semangat !!!
Suasana yang sangat sumuk, lelah, hafalanku kebolak-balik dengan
ayat sebelumnya. Tinggal dua orang lagi yang maju. Tinggal aku dan temanku.
“Kamu duluan ya!” Ujarku.
“Nggak, kamu aja yang duluan mbk!” Ujar Afis.
“Please…” Kataku dengan wajah memelas.
“Ya ya, aku yang duluan.” Ujar Afis dengan terpaksa.
Dengan waktu yang sedikit, aku membenahi hafalanku ayat per ayat.
Deg…deg.. giliran aku nih yang maju.
Bismillahirrohmanirrohim…
Shodaqallahul adzim..
Alhamdulilah bisa, walaupun sempat lupa tapi masih bisa
membenarkan. Kucium dan kupeluk mushaf Al-Qur`anku. Kubilang padanya, “ mas Al,
semoga aku bisa cepat menyelesaikanmu, dan slalu bisa menjagamu.”
Sambil menyelam minum air. Mengarungi ilmu agama dipondok sambil
meraih ilmu pengetahuan umum dikampus. Dengan penuh semangat dan kerja
keras, Allah pasti akan memberikan kemudahan dan
kelancaran dalam kehidupan. Seperti pepatah ini: Berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Terlihat disudut kamar, piring kotor menumpuk. Aku hanya
memandangnya karena lelahku sangat terasa. Badan pun seperti tak berdaya.
“Mbak fiy?” Panggil mbak Ria.
“Iya mbak Ri, kenapa?”
“Nggak lupa kan, kalau ini piketmu???” Ujarnya.
“Iya. Aku nggak lupa kok.”
Setelah itu aku memberesi piring-piring kotor itu untuk ku cuci. Teerrrr….
Suara piring pecah.
Badanku lemes sekali. Dadaku terasa sesak, kepalaku sangat pusing.
Brukk.. Aku jatuh dan tak tersadarkan diri. Bangun-bangun aku sudah di atas
kasur.
“Fiy, gimana? sudah agak enakan???” Ujar Qiya.
“Alhamdulillah, tapi masih terasa pusing.”
“Ya sudah, Istirahat aja dulu. Mungkin kamu kecapekan. Cepat sembuh
ya!”
“Iya Qiy,,, makasih ya.”
“Mbak Fiya, ini tehnya diminum dulu! mumpung masih anget. Jangan
lupa obatnya diminum ya!” Ujar mbk Ana.
“Iya mbak, makasih.”
Selama tiga hari hanya berbaring di atas kasur. Ingin rasanya bisa
beraktifitas seperti teman-teman. Tapi, badanku belum bisa diajak kompromi.
Itulah yang harus dimengerti bahwa hidup tak selamanya lurus, pasti ada
liku-likunya. Hidup adalah perjuangan untuk melawan beribu ujian, beribu cobaan
yang suatu saat akan diganti oleh Allah dengan kebahagiaan.
“Kota Impian”
Pare. Kota impianku. Aku ingin belajar dan menekuni ilmu bahasa
Arab disana tapi impianku belum terwujud, belum ada biaya untuk kesana.
Celenganku, kau harapanku, kau yang ku nanti selama ini. Cepet
penuh ya!! Setiap hari aku menyisakan uang saku Rp 2.000, sedangkan yang Rp
3.000 untuk jajanku. Do’a setiap hari ku
panjatkan, agar harapanku ke kota Pare bias tersampaikan.
Alim berdiri didepan meja dan memandangku penuh tanda Tanya.
“Hai Lim, ngomong aja deh kalau mau ngomong! Nggak usah sungkan!”
Ujarku.
“Fiy, kamu pengen ke Pare nggak??”
“Apa? Pare??? Pengen banget
Lim.”
“Siip, ada temenya.” Ujar Alim.
“Ngomong-ngomong berapa sih biaya ke Pare??”
“Kira-kira butuh Rp 1.000.000 lebih anggarannya.”
“Mahal banget.” Kataku sambil mengingat isi celenganku.
“Iya, emang mahal. Itu dari pengalaman kakak-kakak yang pernah pergi
ke Pare. Anggaranya sekitar segitu.”
“Waduh.. Liburan ini belum bisa dong?! Because dananya belum ada.”
“Ya tak masalah. Liburan kapan aja bisa. Nah mulai sekarang harus
menabung, walaupun hanya Rp 2.000,- per hari!”
“Yakin, kita bisa kesana??? Kata Alim sedikit ragu.
“Kenapa nggak yakin? Yakinlah, kalau emang ada niat dan tekadnya.
Yang penting jangan lupa menabung tiap hari!” Kataku penuh semangat.
“Oke. Siip!! Besok kalau tabungannya sudah mencapai anggaran,
calling-calling ya!”
“Siip! Good Luck.”
***
Kami sibuk dengan kegiatan dan aktifitas masing-masing. Waktu siang
telah berganti malam dan tak terasa
sudah berganti pagi lagi. Hingga tak disangka kini telah mendekati liburan.
Tapi belum tahu bagaimana kabar tabungan kita.
Hand phone berdering dikamarku. Aku yang sedang enak-enakkan
membaca buku, merasa terganggu dengan suara itu. Hpku berdering hingga tiga
kali.
“Siapa sih ini?! Mengganggu orang lagi baca buku aja!” Gerutuku.
Sekali lagi benda itu berbunyi dengan tak sabarnya.
Sambil membawa buku, akhirnya aku mengangkat panggilan di hpku.
“Hello … Assalamu’alaikum???”
“Wa’alaikumsalam”
“Dengan siapa ya?” Ujarku kepada seseorang pemilik nomor yang tak
dikenal itu.
“Aku Alim, Fiy. Masak lupa dengan suaraku?”
“Hehe.. Maklum aku kan nggak pernah dengar suaramu di telfon.”
“Dari tadi aku telfon nggak di angkat-angkat?”
“Ya maaf. Lagi sibuk baca, jadi nggak kedengeran.” Jawabku penuh
alasan.
“Gimana kabar tabunganmu Fiy?”
“Alhamdulillah udah agak berat … (berat banyak recehnya) hehe”
“Astaghfirllahal’adzim, apa-apaan tuh?! Tabungan mu pake koin??”
“Iya, tapi itu yang tabungan ayam, kalau yang tabungan bebek untuk
uang kertas.”
“Oww, gitu. Wah berarti tabungannu ada 2 dong??”
“Iya dong, siapa dulu, Fiya gitu loh!!”
“Jempol buat kamu deh!!” Ujar Alim.
“Kapan nih, kepastian liburan belajar ke Parenya?” Tanyaku serius.
“Kapan ya?? Sebenarnya sih pengen habis lebaran, tapi..”
“Tapi apa?” Cetusku.
“Tapi, aku pulang ke Riau. Hehe.Gimana dong?”
“Kenapa sih pulangnya nggak ditunda?”
“Nggak boleh lah, Umi dan Abi nyuruh aku pulang.”
“Ee.. Dasar anak mami!” Ledekku.
“Biarin, emang gue pikirin!?”
“Eh … kalau sehabis kamu pulang dari Riau gimana? Bisa nggak? Aku
udah pengen banget nih ke Pare.”
“Insyaallah bisa. Bulan Syawal ke-20 ya!”
“Oke deh. Beneran kan? Nggak ditunda lagi?”
“Nggak-nggak, kali ini aku serius kok.”
“Huft … sebel sih, impianku ke Pare tertunda. Tapi nggak papa deh
biar tertunda, nanti dompet pasti akan lebih tebal. Jadi lebihnya bisa sekalian
liburan.”
Kupandang dan kupegang tabungan ayam dan bebekku, aku berharap
melalui dua tabungan ini, impianku ke Pare bisa terwujud.
Ku alihkan pandangan ku ke meja makan. Terlihat lauk ayam potongan
kecil-kecil, aromnya lezat. Aku pun mendekatinya.
“Mbak Yuna.” Panggilku.
“Iya ada apa?” Sahutnya. “Jangan bilang kalo kamu mau santap lauk
sore mu itu!” Terka mbak Yuna seperti sudah hafal kebiasaanku.
“Hehe” Dengan wajah senyum meringis aku menjawabnya.
“Dasar … kebiasaan.” Ujarnya kembali.
“Biarin. Perutku laper. Mumpung masih ada sisa nasi sarapan pagi.”
Jawabku.
“Up to you lah! Yang penting jatah makan soremu habis.”
“Iya iya” kataku dengan segera meracik bakal calon makananku itu.
***
welcome to Pare!
“I’m caming Pare . kota yang kita impi-impikan selama ini akhirnya
bisa kesini. Dimana tempat untuk menambah wawasan bahasa dan qowaiddah nahwu
dan shorofnya lebih dalam.”
“Fiy, kita nggak hanya dapat ilmu disini, tapi disini juga ada
tempat liburannya loh.”
“Ohh iya? Dimana emang??” Aku mulai penasaran dengan tempat-tempat
yang bisa aku kunjungi dikota ini.
“Belum tau jelas sih, aku cuma dengar dari orang-orang yang pernah
liburan ke Pare.”
“Dasar … nggak jelas!!”
“Hehe..”
“Bikin penasaran aja kamu nih.”
“Gampang, nanti kita nanya-nanya temen kan bisa.”
“Oke deh. Manut! Akhirnya mimpiku terwujud Lim.” Girangku
tak menyangka bisa menginjakkan kaki dikota impian
“Berada disini dalam mimpiku. Lega rasanya. Disini kita akan
membiasakan berbahasa arab, nggak perlu malu dan sungkan dengan temen-temen
karena emang wajib berbahasa arab. Kita akan banyak tambahan kosa kata. Ples …
plesnya kita bisa berlibur sekalian disini.” Lanjutku.
“Iya Fiy … Alhamdulillah. Ini mimpi kita yang sudah terencana 1
tahun yang lalu. Dan akhirnya dengan tabungan itu kita bisa sampai disini.”
Wujudkan mimpi-mimpimu itu, rencanakan dengan waktu yang pasti.
Wujudkan dengan usaha dan do’amu. Allah akan mendengar dan mewujudkan mimpi
itu.
Februari, 2009.
“Love In The Silent”
Langkah kaki yang lewat disampingku terasa berbeda. Suara
langkahnya, cara berjalanya dan caranya mendahului ku dengan santun. Laki-laki
yang belum lama ku kenal itu, membuatku ingin tau siapa sosok itu sebenarnya.
Ketenangan yang melekat padanya membuatku selalu memikirkannya.
Ku senggol Ana yang sedang berjalan di sampingku. Saat itu kami tengah
melewati warung terdekat dipondok.
“Apaan sih fiy???”
“Yang baru lewat tadi siapa sih???”
“Ooowww… Tadi to. Dia Syafa`! hayoo, kamu suka ya sama dia?”
“Apa? suka??? Nggaklah, hanya saja dia kok terlihat berbeda dengan
kakang yang lain?”
“Ciee…jujur dech???woles aja dech sama aku.
“Tau ahh!” Aku terus berjalan cepat.
Langkah kaki laki-laki itu berhenti disebuah masjid. Tak lama
kemudian aku mendengar suara adzan dari arahnya berhenti.
“Suara siapa itu Na??” Tanyaku.
“Itukan suaranya Syafa`. Pasti dia tadi habis dari warung makan Lek
Parmi, kemudian adzan magrib.”
“Ohh… Iyakah??” Kataku.
“Iya.. Suaranya emang bagus.”
“Sering dengar suara adzan dan ngajinya, tapi nggak tau kalau itu
ternyata suarnya kak Syafa`.”
“Diem-diem, temenku ada yang lagi terkagum-kagum nih??”
“Ehmm, apaan sih kamu. Eh, teman-teman ayo kita makan!! Ujarku
menawari mereka sambil mengalihkan pembicaraanku tentang kak Syafa’.
“Ayoo!! Aku udah laper nih.” Ujar Nindi yang dari tadi nungguin aku
dan Ana.
“Maaf. Tadi esnya di mbah Gaul nggak ada.”
“Udah nggak apa-apa, air kran lebih nikmat kok!”
Kebersamaan seperti inilah yang tak akan terlupakan, makan bersama
dengan lauk seadanya, apalagi kalau ada krupuk dan sambal, nasi pun habis
disantap.
Malam semakin malam, sunyi semakin sunyi. Hanya ada satu sumber
suara lantunan Al-Qur`an dari makam sebelah pondok, acara sima`an rutin sebulan
sekali. Terasa nyaman dan tenang hati ini mendengarnya, seperti tak asing lagi
suara itu. Seperti suara seseorang yang melantunkan adzan magrib tadi.
Semangatku semakin membara karena mengenalmu. Entahlah!!! Aku
menemui ketenangan dalam dirimu, sikap dan perilakumu. Aku tak tau, ini rasa
kagum atau rasa cinta?
Jika ini cinta, aku akan mencintaimu dalam diamku. Aku akan
mencurahkan rasaku dengan mendo`akanmu. Aku yakin bila memang kau yang terbaik
untukku, Tuhan akan mempersatukan kita dalam cinta suci-NYA.
Pagi semangat baru. Aku tak ingin kalah seperti matahari itu!
Ketika kaki melangkah dan berjalan menuju gedung kampus, dibawah
pohon kulihat dirinya. Laki-laki berpeci hitam, berpawakan tinggi hitam manis telihat
sedang menunggu temannya. Dia menoleh kepadaku sembari tersenyum dan menyapa.
Aku pun dengan wajah malu-malu membalas senyumnya .
Langkahku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Jantungku serasa
berdetak kencang, rasa itu semakin mengebu-gebu. Biarlah rasa itu tetap dalam
diam. Biar tetap terjaga oleh diam. Biar rasaku padanya yang akan menambah
semangatku. Aku yakin engkau masih terjaga. Aku yakin jika Allah meridhoi, kita
pasti bisa bersama dalam ikatan suciNYA.
****
“Surat untuk sang jodoh”
Assalamualaikum jodohku. Masih sampai mana langkahmu? Kuharap
engkau masih tetap terjaga. Aku disini menantimu. Membangun cinta ini untukmu
kelak. Aku menjaga cinta ini, dan akan memberikan
padamu kelak pada waktunya.
Wahai jodohku…terkadang aku tak sabar ingin tau siapa dirimu,
mencoba menebakmu. Tapi, tetap saja tak bisa, tak bisa meyakini. Terkadang
aku lelah dalam menunggu, dan merasa
bosan untuk menunggu. Kelelahan itu aku obati dengan mendo`akanmu dalam setiap
usai sholatku.
Jodohku…ketika aku mulai membangun cinta ini. Disitulah aku harus
meyakini orang yang belum jelas keadaannya tapi akan pasti kedatangannya. Aku
yakin siapa pun engkau adalah orang yang kelak bisa membimbingku dan
anak-anakku. Aku disini tidak hanya menunggumu dengan kekosongan, tetapi dengan
memantaskan diri dan mendekatkan diri pada sang Pemberi Cinta dan Kasih. Agar
Allah meridhoiku bersama orang yang saleh sikap dan tutur katanya. Bagus iman
dan akhlaknya. Yang kan membawa imanku lebih dekat pada-NYA. Yang menyayangiku
dan anak-anakku.
Rindu, terkadang ada. Tapi tak tau untuk siapa. Kusampaikan rindu
ini lewat do`a, agar bisa sampai padamu, jodohku.
Jodohku, kau yang masih dirahasiakan oleh Tuhan. Ku harap engkau
adalah orang yang mengerti tentang agama lebih dariku. Agar kau mampu
membimbingku. Kuharap engkau adalah orang yang setia hingga kita tua. Kuharap
engkau lebih dewasa, agar hubungan kita tetap terjaga dengan baik.
Dalam istikhorohku, semoga kau bisa menerimaku apa adanya. Yang
menyayangiku dengan ketulusan dan kedewasaan. Semoga engkau datang pada waktu
yang tepat. Kutunggu kau pada ikrar suci kita.
“Secercah Harapan dan Do`a”
Menunggu hari wisuda yang tak lama lagi.
Tak sabar rasanya untuk berdiri memakai toga, tersenyum bahagia, menunjukkan
prestasi pada dunia dan berkata “Akhirnya aku sarjana.”
Inilah hari yang ku nanti-nanti, tapi
hatiku juga sedikit sedih karena tak bisa seperti teman-teman lain yang
didampingi oleh kedua orang tua mereka. Air mata ini pun sempat bergulir saat master of ceremony memanggil
nama ku untuk di wisuda. Berusaha menguatkan hati meski hanya di dampingi oleh
kakak pondok yang mewakili waliku .
Setelah acara selesai, semua mahasiswa
yang telah diwisuda satu persatu keluar dari gedung begitupun dengan aku. Saat
aku melangkah menuju pintu, terlihat sosok laki-laki yang tak asing lagi
bagiku. Dia membawakan setangkai bunga mawar .
“Dek Fiy, happy graduation yaa. Semoga ilmunya berkah dan
bermanfaat .” ujarnya sambil mengulurkan bunga mawar kepadaku.
“Makasih kak Syafa’.” Ujarku.
“Jangan bersedih! Ada kakak disini. Teman-temanmu menunggu di
bawah tuh.” Sambil membimbingku menuruni tangga gedung.
“iya kak.” Ujarku haru.
Sebuah moment yang tak kusangka dan sulit untuk kupercaya hadirnya
seorang kak Syafa’ di hari bersejarahku ini, apalagi dia membawakan sekuntum
mawar merah untukku.
“Selamat ya Fiya.” Ucap teman-temanku sambil memberikan
bunga, kado dan surprise-surprise lainnya.
“Ayo kita foto bareng!”
“siaap deh. Aku sama kak syafa’ dulu dong di fotoin hihi ..”
“Ciiieeee … diem-diem langsung temuin mertua tuh.”
“ssttt.. Apaan sih kalian ini!?” Jawabku tersipu.
Cekrek-cekrek.
“Udah, gantian kita doong!”
Cekrek-cekrek.
****
Bahagianya hati ini .. tinggal nunggu
waktunya pulang ke kota kelahiran. Bagaimana dengan Mr.S itu …. ? dia kok
sepertinya memberi secercah harapan padaku. Tapi apa mungkin? Ah .. Rumahku kan
nan jauh di sebrang sono, sedangkan kak Syafa’ aku tak pernah tahu rumahnya
dimana. Jangan deh jadi korban PHP nya!! Hmm .. sudahlah jangan terlalu
berharap! Inget kedua orang tua nunggu di rumah!!
Welcome my
beloved Jambi
“Akuu puulaaaaang … Ayah …. Ibu …. “Telihat mereka di depan rumah, menunggu
kedatanganku .
“Ayah.. ibu .. aku rinduuu.!” Sambil ku peluk mereka. Buncahan
rindu ini terobati sudah.
“Bagaimana dengan wisudamu nak?”
“Alhamdulillah lancar yah .. bu ..” Jawabku.
“sudah siap kan, kalau terjun untuk mengamalkan ilmumu di sekolah
kampung kita nak?”
“Insyaallah siap yah .. tapi kalo terjun ke laut gak siap yah. Hehe,”
candaku.
“Ah, kamu ini nak. Gimana, ayah sama ibu masih awet muda kan??”
Seloroh bapak tiba-tiba.
“Hemm, gimana ya??” Jawabku sengaja sok menimbang.
“ Hehe, bapak sama ibuk mah masih tetep muda dan romantis kaya romeo
Juliet.”
“ Haha bisa aja kamu nak. Ya sudah, mandi dulu sana gih! Di
lanjutin lagi ntar ngobrolnya.”
Menjelang sore, saat
mulai terdengar indahnya kicauaun burung-burung alam. Ibu pun menyiapkan
masakan spesial untuk sore ini karena putri kesayangan telah kembali. Aroma
masakan ibu kali ini sangat menggoda hingga membuat perut lapar ini makin
keroncongan.
“Udah mandi nak? Ayo kita makan bersama kalau gitu!”
“Assiik.”
“Hemm. Masakan ibu tetep yummy ya?! Kog ibu masih inget sama
makanan favoritku??”
“Iya dong. Ibu kan masih muda, belum pikun. Masa lupa sama makanan
kesukaan anak sendiri?!“
Haha, kami pun tertawa bersama.
Sudah lama sekali
rasanya tidak menikmati suasana makan bersama keluarga seperti ini. Keadaan
rumahpun sudah banyak berubah dari saat aku belum pergi dulu. Banyak
pembaharuan, semakin bagus. Bunga-bunga bermekaran melengkapi keindahan surga
kelurgaku yang kini menjadi tempatku berteduh .
Masih seperti mimpi, kenyataan yang
sedang aku jalani kini. Aku sudah wisuda dan aku sudah di rumah. Sekali lagi kucubit pipiku untuk
memastikan kebenaran yang aku jalani. Ah .. Sakit. Aku sedang tidak bermimpi. Tentang rinduku pada tanah kelahiran yang ku simpan
bertahun-tahun kini telah menemukan jalan pulang.
Mei,
2005.
“ku sambut pinanganmu”
Mata sudah mulai mengantuk. Malam pun tinggal keheningan. Hanya suara-suara jangkrik dan
burung derkuku yang masih terdengar. Kupancal selimutku menutupi tubuh, lalu
berdo`a dan ku pejamkan mataku.
Kukuruyuk...kukuruyuk....
suara ayam jago itu membangunkanku tuk sholat subuh. Aku bergegas
bangun, sebelum ibu membangunkanku dengan percikan air. Tak lama setelah itu,
ibu memanggilku.
“Fiya, bangun nak!!”
“Iya bu.” Teriakku masih di kamar
mandi.”
Ibuku sudah siap menungguku berjama`ah sholat subuh di ruang
sholat. Sedangkan ayahku sudah berangkat jam`ah di masjid.
Pagi masih terlihat petang, kabut menutupi arah jalan. Ayahku
sedang meneguk segelas kopi dan roti buatan ibuku, untuk bekal ke ladang karet.
Ibuku sibuk memasak untuk sarapan keluarga. Aku mencuci baju-baju yang sudah di
dalam bak besar, lalu menyiram bunga-bunga
yang ada di halaman rumaku.
Melihat bunga mawar merah itu, membuatku kembali pada kenangan
indah wisuda. Ketika kak Syafa` memberi ucapan selamat dengan memberikan sekuntum mawar
merah. Tapi, itu dulu. Kini dia menghilang tanpa memberikan kabar padaku.
Padahal kak Syafa` seperti memberikan harapan padaku. Dia yang telah menanamkan
keyakinan padaku, bahwa dia yang terbaik untukku. Kenyataannya dia menghilang
tanpa jejak. Mungkinkah kau seperti pelangi, kau datang memberikan keindahanmu,
lalu kau pergi tanpa memberikan kabar padaku. Aku tak tau, apakah kau akan
kembali atau tidak?!!
Malam seusai berjama`ah sholat magrib, ibuku menyuruhku berdandan
mengenakan pakaian berwarna putih.
“Nak,
berdandanlah yang cantik! Pakailah baju ini???Nanti kita akan kedatangan tamu?”
“Iya. Emang mau
ada acara apa bu?? Siapa tamunya???”
“Nanti kamu akan
dilamar oleh seorang pemuda.”
Mendengar hal itu, hatiku mulai tak karuan. Siapakah pemuda itu? Lalu bagaimana dengan laki-laki yang pernah
memberikan bunga mawar itu? Ya Allah ...aku takut!!
Tok..tok...tok.. “Assalamualaikum”
Terdengar suara salam rombongan. Ayah menemui tamu, lalu ibuku
diutus ayah untuk memanggilku.!
“Nak, tamunya
sudah datang. Ayo keluar..!!!”
“Fiya, takut
buk!!”
“Takut kenapa
nak???Ayolah...tamu kita sedang menunggu. Tak enak nanti.!”
Aku berjalan keluar menuju
ruang tamu dengan langkah yang sangat pelan. Kepala ku tundukkan. Aku tak
berani menatap wajah para tamu. Aku duduk disebelah ibuku.
Langsung saja! Kedatangan kami bermaksud untuk melamar putri
bapak!!! Untuk anak kami Ahmad Musyafa`. Ujar bapak keluarga dari tamu.
Aku seperti tak asing mendengar nama itu! Gumamku dalam hati.
“Iya Fiy. Ini
aku Syafa` yang pernah kamu kenal dulu. Malam ini aku ingin meminangmu??!”
“Benarkah kak
Syafa`???Lalu kulihat wajahnya, aku sedang tidak mimpi.!”
“Benar, ini aku
kak syafa`! Maukah kau menjadi istriku???”
Suasana Hening!!!
Aku terdiam!
“Bagaimana
Fiya???Tanya Ayahku.”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Aku tidak menduga, bahwa kak
syafa` akan datang untuk meminangku.!! Apakah ini semua sudah direncanakannya?
Karena seelumnya dia tidak pernah menghubungiku sama sekali, terakhir setelah
ku wisuda. Terima kasih ya Allah...kau telah pertemukan kita kembali.
“Kapan acara
pernikahan bisa dilaksanakan ? Ujar Ayah Syafa`.”
“Secepatnya
tidak masalah yah? Jawab Syafa`.”
“Bagaimana
dengan Fiya??Tanya ayah Syafa`.”
“Nderek kak
Syafa` yah! Ucapku sambil tersenyum.”
Kala itu, kau hanya dalam do`aku. Sekarang terwujud dalam
kenyataan. Akhirnya aku bisa hidup bersama orang yang kucintai lewat do`a dan
ku do`akan dalam diamku. Besok namaku akan kau sebut dalam ikrar sucimu. Akan
tercantum dalam undangan dan buku pernikahan kita.
Malam ini sangat indah, perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan.
Allah telah pertemukanku dengan calon imamku yang ku nanti-nanti selama ini.
Allah telah meridhoi kita dalam ikatan suci. Allah telah mengizinkan kita untuk
membangun keluarga.
“Fiya...sekarang
kita sudah bersama, sudah halal dalam ikatan suci dan ridho-Nya. Aku bahagia
bersamamu? Aku ingin mencintaimu seperti cintanya Ali dan Fatimah.”
“Iya kak. Kakak
jangan menghilang lagi ya? Kakak jangan tinggalkan aku lagi.!”
“Tidak Fiya!
Kakak akan selalu bersamamu. Kakak akan menjaga dan melindungimu. Maukah kau
terbang bersamaku, menjelajahi dunia ini??Seperti burung merpati putih
itu..?hehehe”
“Udah deh! Kakak
jangan berkhayal???”
“Syafa` membalas
dengan senyuman bahagianya.”
Jika Allah telah menghendaki, dimana pun jodohmu, engkau pasti akan
bertemu. Sedingin dan secuek laki-laki pasti dia mempunyai keromantisan jika
sudah bersama kekasih halalnya. Ridho Allah telah menyertai mereka. Semoga
cinta kalian kekal abadi dunia akhirat. Semoga kalian kelak bisa duduk bersama di
singgasana Ars`y-Nya.