Rabu, 23 November 2016

Mbah Mangli

Mbah Mangli
Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama Kyai H. Asykari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah.
Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah.
Kyai Hasan Asykari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN). Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yg mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia.
Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau..
Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan: “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri”
Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya.
Mbah mangli juga ikut Toriqoh alawiyah. Beliau sering mengikuti maulid dimasjid arriyad yg dipimpin oleh HABIB ANIS BIN ALWI ALHABSYI setiap malam jumat sejak zaman HABIB ALWI BIN ALI ALHABSYI.
Adapun wiridan wajib dipondok pesantren mangli adalah rotib Alhadad , rotib Alatos dan rotib syakron sampai sekarang.
Mendoakan
Jika ada hal-hal yang mengancam dirinya, dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap.
Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian 1.200 dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam.
Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid.
Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang.
Pesantren Sederhana di Lereng Gunung
PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban.
Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera.
Ia juga tidak memerlukan pengeras suara (loud speaker) untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang.
Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar (75) warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok.
Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN).
Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks (MMC).
”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi.
Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli
SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir.
Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut.
Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli.
Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing (Candi Mulyo), dan lainnya.
Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat.
Keistimewaan Mbah Mangli yang lain, ia dapat mengetahui maksud setiap jamaah yang datang, apa permasalahan mereka dan langsung dapat memberikan nasehat dengan tepat sasaran. Pernah seorang jamaah datang ke pengajian dengan membawa uang ibunya yang semestinya dipergunakan untuk kebutuhan rumah tangganya. Di tengah pengajian, Mbah Mangli langsung menyindir orang tersebut dan menasehatinya agar uang tersebut dikembalikan dan ia segera memohon maaf kepada ibunya tersebut.
Pernah juga seorang tamu datang ke pesantren Mbah Mangli. Sejak dalam perjalanan sang tamu tersebut sudah membayangkan mendapatkan suguhan buah jeruk yang sangat ranum dan menghilangkan rasa dahaganya selepas menempuh perjalanan jauh. Dan sesampainya di tempat Mbah Mangli, apa yang ia dapatkan? Mbah Mangli benar-benar menyuguhinya dengan hidangan jeruk keprok yang sangat segar. Pucuk dicinta ulampun tiba!
Di jaman itu memang seorang kiai benar-benar diyakini sangat karib dengan Gusti Allah, sehingga ia benar-benar berkedudukan sangat istimewa bahkan dipercaya sebagai waliyullah. Maka tak heran doa seorang ulama kharismatik dipercaya sangat makbul dan mujarab. Inilah barangkali magnet daya tarik sehingga ummat mau mendekat, mendengar setiap nasihat penuh khidmat, dan kemudian berujung kepada pengamalan ajaran agama dengan penuh kemantapan rasa iman dan ketaqwaan. Inilah kunci ketentraman jiwa, lahir dan batin yang akan berdampak luas terhadap ketentraman serta keguyuban masyarakat, bangsa dan negara.
Mbah Mangli akan senantiasa dikenang segala amalan dan jasa baiknya terhadap kemaslakhatan ummat. Segala sifat dan sikap ketawadhuan, kealiman, kesederhanaan, jujur, amanatnya seorang Mbah Mangli akan senantiasa menjadi obor penerang sekaligus cahaya pelita petunjuk jalan bagi segenap ummat yang senantiasa mendambakan keadilan dan ketentraman masyarakat, bangsa dan negara. Spirit dan semangat Mbah Mangli akan selalu hidup abadi du dunia hingga akhir jaman. Apakah kini memang menjelang jaman akhir sehingga Allah mengangkat ilmu-Nya dari permukaan bumi dengan mewafatkan para aulia dan alim ulama yang benar-benar menjadi pewaris para nabi?
sumber:

Abuya Dimyati

Abuya Dimyati adalah kiai dan guru tarekat yang ‘alim dan wara’. Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Bantany yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. Ia lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya (www.nu.or.id, 05 Desember 2012).
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati ini adalah sosok yang kharismatis. Ia dikenal melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Ayah dari Abuya Muhtadi (Kiai Banten yang juga memiliki pengaruh besar di kalangan kiai dan masyarakat) ini merupakan putra dari Syaikh Muhammad Amin. Abuya Dimyati dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara. Ia juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1919 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni, bukan saja mengajarkan ilmu syariah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya juga dikenal sebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Semasa hidupnya, pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Abuya Dimyati mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeusing, Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Plered Cirebon. Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Menurutnya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna di samping sebagai pakunya negara Indonesia. Setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya Dimyati sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Di Pesantren Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali!
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya. Abuya Dimyathi menempuh jalan spiritual yang unik. Ia secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadits nabi al-Ulama waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi.
Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Ia tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca Al-Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH. Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Sebagai sosok yang dikenal sangat teguh pendiriannya ini, ia pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/1959 M. Kemudian kitab Ashlul Qodr yang di dalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hizib Nashr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qolaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah di dalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.
Abuya Dimyati meninggal pada tanggal 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib. Umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun (www.kumpulanbiografiulama.wordpress.com).

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Resolusi Jihad dan Hari Santri takkan lengkap tanpa kehadiran Kiai Solihin.

Orang boleh melupakan kiai satu ini tapi sejarah tak mungkin mengalami amnesia.
Dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin — disapa Kang Solihin — diperankan sebagai pembantu kiai [khadim/dalem] yang lucu dan lugu. Sangking ta’zimnya sama kiai, tanpa diminta kiai dan tanpa instruksi Jepang Kiai Solihin meminta sendiri menemani Hadratu Syaikh Kiai Hasyim Asyari di dalam penjara di Bubutan, Surabaya, selama 4 bulan. Bahkan, seperti diceritakan dalam Film “Sang Kiai”, Kiai Solihin berlari mengejar dan melompat ke atas truk yang membawa Sang Kiai. [cerita nyata]
Sayangnya, seperti kebanyakan film sejarah di negeri ini, film yang disutradarai Rako Prijanto ini terlihat sekali minim riset. Kiai Solihin tak sekadar pembantu melainkan “tangan kanan” Hadratu Syaikh Kiai Hasyim. Beliau dikenal tegas, pemberani, dan ditakuti santri-santri. Beliaulah, menurut cerita tutur banyak orang, yang membunuh Jenderal Mallaby, dengan kedua jarinya tepat di tenggorokannya. Bukan oleh Harun, tokoh fiktif yang diperankan Adipati Dolken itu.
Kiai Solihin dikenal sakti dan pernah menjadi kepala Pondok Tebuireng. Kesaktian dan keberanian Kiai Solihin sudah diketahui Hadratu Syaikh dan santri-santri. Ada satu cerita, bahwa Kepala Madrasah Tebuireng, Mas Dawam, ditembak mati serdadu Jepang. Jenazahnya dibiarkan tergeletak dan dipertontnkan di alun-alun. Dijaga beberapa serdadu Jepang. Tak satu pun santri berani mengambil.
Hadratu Syaikh Kiai Hasyim menyuruh Kiai Solihin mengambil dan mengurus mayat tersebut. ia hanya dibekali sepucuk pistol milik Gus Kholik putra Hadratu Syaikh.
Hari itu hujan deras. Sebelum berangkat ke alun-alun, Kiai Solihin berhenti di sebuah musholla. Beliau salat sunah dua rakaat. Setelah itu membaca Hizbu Nashar, Hizbu Nawawi, juga Ilmu Penakluk berbahasa Jawa Cirebon. Sampai menjelang maghrib Kiai Solihin baru berangkat ke alun-alun sendiri. Di depan serdadu Jepang yang menjaga jenazah tersebut, Kiai Solihin menembakkan pistolnya ke atas langit. Atas izin Allah SWT., suara pistol tersebut menggelegar seperti suara meriam, hingga membuat ciut nyali tentara Jepang dan mereka lari terbirit-birit. Kiai Solihin lantas membawa mayat tersebut ke Tebuireng untuk dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur.
Kiai Solihin dikenal dekat dengan keluarga Hadratu Syaikh [di samping itu saudara-saudaranya mondok di situ, seperti adiknya sendiri, Kiai Bulkin Fanani, dan kakak iparnya, Kiai Masduki Ali. Juga masih bersaudara dengan Kiai Idris Kamali, menantu Hadratu Syaikh]. Hubungan kekeluargaan tersebut masih terjalin sampai Kiai Solihin pulang ke Kampung Halamannya di Pondok Pesantren babakan Ciwaringin – Cirebon. Gus Kholik, Gus Ya’kub, juga Gus Yusuf sering silaturahmi dan bertandang ke rumahnya. Bahkan, menurut sebuah cerita, Gus Ya’kub sering sekali ke rumah Kiai Solihin untuk meminta Jimat.
Kiai Solihin merupakan putra tertua Kiai Muhammad Amin [Ki Madamin]. Beluiau wafat 17 Agustus 1968 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Kiai Abdul Hannan di Babakan Ciwaringin Cirebon. Pada saat dimakamkan tak sedikit keluarga Hadratu Syaikh yang hadir dan ikut mendoakan langsung. Kiai Ali — adik Kiai Idris Kamali menantu Hadratu Syaikh — menyebut “hadza sohibussijni Hasyim Asyari” pada saat menalkin beliau menuju peristirahatan terakhirnya.
Pada masa penjajahan Jepang Kyai Sholihin Di berikan amanat oleh Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Sebagai Lurah di Pesantren Tebu Ireng Jombang, Beliau menjalankan amanat tersebut dengan mengatur dan melaporkan segala rutinitas Pesantren pada Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari walaupun ketika itu teror dan ancaman sering menerpa Pesantren Kang sholihin tak gentar menghadapinya disamping menjalankan amanat Guru beliau juga telah dibekali berbagai ilmu lahir batin dari orang tuanya Kyai Madamin yang notabene seorang Ulama yang besar dari Pesantren Babakan Ciwaringin
Suatu Ketika ada Kejadian di Pesantren Tebu Ireng, salah satu santri Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asyari yang bernama Mas Dawam ditembak oleh tentara Jepang dan Jasadnya digantung di sebuah tempat yang terbuka, yang mana dimaksudkan sebagai bentuk intimidasi pada warga pribumi dan santri untuk tidak melawan karena siapapun yang akan melawan akan bernasib sama seperti itu, sehingga Jasad Syuhada Mas Dawam tidak ada yang berani mengambil.
Dengan Perasaan Duka dan Prihatin Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan Kang Solihin untuk mengambil Jasad Mas Dawam, Dengan Tekad yang kuat beliau menyatakan Siap kemudian Hadrotussyaikh membekali Kang Sholihin dengan sepucuk pistol milik Gus Kholiq.
Dengan berbekal perintah guru dan semangat perjuangan walau dalam keadaan Hujan kang sholihin melangkah untuk mengambil Jasad Syuhada tersebut, sebelum mengambil Jasad tersebut beliau masuk ke sebuah Mushola untuk melaksanakan Sholat dengan dilanjutkan membaca wiridan yang telah diterima dari orang tuaya berupa Hizib Nashor, Hizib Nawawi, Hizib Bahri ditutup dengan Aji Penakluk berbahasa Cirebon.
Setelah selesai beliau Keluar dari Mushola tersebut sambil membawa beberapa jamaah untuk ikut dalam misi tersebut, sesampainya didekat area pegambilan beliau berdiri dan mengangkat pistol dan menembakkan peluru keatas, dengan Izin Allah Suara letusan pistol itu terdengar oleh tentara Jepang bagaikan dentuman meriam, hingga membuat tentara jepang kaget dan bingung hingga lari tunggang laggang hingga menanggalkan senjata yang di pegangnya, Kang Solihin bergegas mengambil Jasad Mas Dawam sementara teman-teman yang lain mengambil senjata yang di tinggalkan tentara Jepang.
Dengan keberanian dan kemampuan Kyai Sholihin, Hadrotussyaikh sering mempercayakan Kang Sholihin untuk mendampingi setiap aktivitas perjuangannya, dikarenakan Putra Cirebon yang dikenal banyak memiliki tokoh yang mumpuni dalam bidang kejadukan yang masih ada dan dianggap mampu dalam hal itu adalah beliau. Dimana Kyai Abbas Buntet dan Kyai Amin Babakan sudah berada di pesantrennya masing masing
Kecintaan dan Ketaatan Kyai Sholihin terus berlangsung hingga Hadrotussyaikh meninggal, beliaulah salah seorang yang jadi saksi kepergian Hadrotussyaikh menuju Sang Pemilik Hidup dengan tenang. Lahuma Al-Fatihah
Sumber:
* Tulisan Jamaluddin Mohammad hasil wawancara dengan Ny. Syamsyiyyah [putri Kiai Solihin], Kiai Makhtum dan Kiai Tamam Kamali [keponakan Kiai Solihin]
* Tulisan Ach. Syaikhu Azmy, MM merupakan Cucu Menantu dan Khodimul Ma’had Assholihin Babakan Ciwaringin Cirebon di pwaansorjabar.org

Senin, 17 Oktober 2016

FORMULIR IDENTITAS ANGGOTA PSP JATIM








FORMULIR IDENTITAS ALUMNI PSP JATIM

Nama                                     :
Tempat dan tanggal lahir   :
Alamat                                   :

No. telp                                  :
Email                                      :
Fb                                            :
Twitter                                   :
Blog                                        :
Riwayat pendidikan:
No
Jenjang/ Nama Lembaga Pendidikan
Tahun
1


2


3


4


5


6


7


8



Pengalaman organisasi:
No
Jabatan/ Nama Lembaga/Instansi
Tahun
1


2


3


4


5


6


7


8


Karya Tulis
No
Judul Buku
Penerbit
1


2


3


4


5


6


7


8





POSTER SAYEMBARA MENULIS SANTRI SE-JATIM

SECARIK HARAPAN







SECARIK HARAPAN












Oleh: Nafa Najiha
Editor: Mahmudatur Rohmah

Thanks to
·         Allah Swt. Tanpa-Nya, mungkin tulisan ini takkan bias terlahir.
·         Guru-guruku yang telah banyak memberikan ilmunya, yang kami harapkan barokah do`anya.
·         Keluarga di Jambi, yang selalu memberi kasih sayang dan motivasi”nya.
·         Orang-orang yang pernah hadir dikehidupanku, baik yang pernah menyayangiku maupun yang menyakitiku.
·         Temanku Rochmah, terimakasih sudah memberikan motivasi, kritik dan sarannya. Sekaligus menjadi editor naskahku.
·         Mbak lia, mbak iim, terimakasih telah membantu mengetikkan dikala kesempitanku.
·         PSP  yang sudah memberikan wadah para santriyin untuk menjadi calon penulis.
·         Teman-temanku PSP, PPTQ, STAIN PO, yang sudah banyak memberikan motivasi dan dukungannya.













Daftar Isi

1.   Tekad
2.   Cinta Pertama
3.   Melarikan Diri
4.   Pacar Belum Tentu Jodoh
5.   Dilema
6.   Assalamualaikum PPTQ
7.   Harus Bertahan
8.   Kota Impian
9.   Love in the Silent
10.                     Surat untuk Sang Jodoh
11.                     Secarik Harapan dan Rindu
12.                     Ku Sambut Pinanganmu









Fiya 13 tahun, juni 2000.
Tekad
Disebuah kampung yang masih terlihat tumbuh-tumbuhan nan hijau. Dimana tempat yang masih banyak hewan liar seperti babi, kijang, dan anjing. Disitulah aku hidup,  tak pernah kurasakan berlibur di pantai. Saat itu, aku mempunyai tekad untuk berlibur ke pantai. Tapi, ayahku belum bisa menuruti kemauanku itu, karena keadaan rumahku yang jauh dari pesisir dan kondisiku dari keluarga yang sederhana.
        “Ayah, kapan Fiya bisa berlibur ke pantai???”rengekku dengan wajah melas dan mata berkaca-kaca.
        “Sabar ya nak, ayah belum punya biaya untuk mengajakmu liburan. Ayah yakin, suatu saat kau pasti bisa berlibur ke pantai.”
        Aku hanya terdiam. Menangis dan berlari ke kamar.
Selang lima belas menit aku pergi ke kamar, ayahku mengetuk pintu  dan memanggilku untuk keluar.
        “Fiya, keluarlah nak…??? Pak De mu datang dari jawa.”
        “Iya, yah! Bentar lagi.”Aku berjalan pelan  menuju ruang tamu dengan wajah malu, karena mataku sedikit memerah. 
        “Ini anakmu yang ke berapa Nar?”, ujar Pak De.
        “Ini Fiya, anakku yang ke dua.” Jawab ayahku.
        “Fiya, habis menangis ya???kenapa kamu menangis cah ayu??” Tanya Pak De. Aku terdiam dan tak mampu untuk menjawab. Akhirnya, ayahku yang menjawab pertanyaan Pak De.
        “Kronologinya seperti ini lo Pak De. Tadi, Fiya merengek ingin sekali untuk bisa berlibur dipantai. Tapi, aku belum bisa menurutinya. Makanya ia menangis.” Ujar ayahku.
        “Owalah nduk, kamu pengen berlibur ke pantai ya?” Ujar Pak De.
        Aku mengangukkan kepala.
        “Mau ikut Pak De ke jawa? Nanti disana kamu bisa berlibur ke pantai.” Tawar Pak De.
        Dengan wajah polosku, aku langsung mengangukkan kepala dan tersenyum kecil.
        “Tapi, Fiya harus sekolah dan mondok di Jawa  ya!” Pinta ayahku.
“Iya yah. Insyaallah Fiya mau.”
         Akhirnya, aku pergi ke Jawa bersama Pak De.
Sesampainya di jawa. Tetes air mata terus mengalir dipipku, aku merasa belum rela jauh dengan kedua orang tuaku. Itu menjadi resiko. Karena aku yang meminta dan menerima untuk ikut dengan Pak De. Hidupku kini berbanding terbalik dengan dahulu, aku harus hidup mandiri, tak ada lagi yang menyucikan bajuku dan tak ada lagi yang membuatkan masakan enak untukku.
Suasana yang terasa panas dan bau tak sedap menyengat hidungku. Dengan hidung nyengir-nyengir karena menahan bau, aku bertanya pada temen pondokku.
“Ini bau apaan sih mbk???”, tanyaku.
“Ini bau ampas telo. Berasal dari pabrik pembuatan tepung pati. Udahlah mbk,  nggak usah kemayu! Hidup didesa emang seperti ini.”
“Ampun deh, baunya ngalah-ngalahin selokan.” Ledekku.
“Haha, kamu ini ada-ada aja. Mungkin kamu belum terbiasa.”
“Iya mbk.” Jawabku.
“Dek Fi, dipondok wajib memakai sarung lho.” Ujar mbk Rina salah satu keamanan pondok.
“Iya to mbk?? Tapi, aku belum bisa pakai sarung.”
“Gampang. Nanti belajar sama mbak-mbaknya kan bisa.”
Nggeh mbak.”
Di pondok Nurul Ihsan, tepatnya didaerah Ngemplak  Jawa Tengah yang masih sederhana ini,  memiliki jumlah santri yang sedikit. Keakraban dan kedekatan dengan keluarga ndalem atau keluarga pengasuh pondok sangat terasa. Banyak hal baru yang kudapatkan dan kutemui disini. Walau harus banyak beradaptasi. Apalagi sifatku yang agak pendiam dan mudah tersinggung.
Suasana kelas dengan keramaian teman-temanku yang sedang menghafal tasrifan utusan dari ustadz, sedangkan aku masih belum mengenal apa itu ilmu shorof. Aku hanya terbengong dan diam mendengarkan hafalan teman-temanku. Aku merasa bodoh sendiri!
Semenjak itu pula, aku mulai bangkit dari kebodohanku. Aku tak boleh ketinggalan jauh dari teman-temanku. Setiap ada waktu kosong, aku meluangkan dan menyempatkan diri untuk belajar sebentar. Tak lupa belajar LKS bahasa Arab, pelajaraan yang menurutku asing tapi mengasyikkan.
Malam nanti adalah acara Muhadoroh untuk santri baru. Dan aku adalah salah satu petugas Muhadoroh. Malam semakin terasa, waktu semakin mendekati kegiatan Muhadoroh. Terasa gemetar bercampur keringat dingin, saat aku membacakan pidato didepan teman-teman santriwati. Malu bukan main hati ini.
Setelah usai Muhadoroh, aku mendengar mbak-mbak pada ngomongin aku. Hufft…Sebel!! Aku berlari ke kamar mandi dan menangis. Tak lupa aku menghidupkan kran agar isak tangisku tak terdengar dari luar.
        Malam menjadi saksi. Malam menjadi sunyi. Malam mulai lelah. Malam membuatku takut dan mengajakku tidur. Agar melupakan masalah yang baru saja terjadi.

****
















CINTA PERTAMA
Terlihat segerombolan anak laki-laki sedang berebut bola dengan lawannya. Angin sepoi-sepoi mengindahkan suasana pemandanganku terhadap permainan sepak bola.
“Hai Fiya”. Suara Zizah mengagetkanku.
“Emm, Fiy dapat salam dari Fadhil”, lanjutnya.
“Salam apa emang? Kamu ini ada-ada aja deh”
“Aku serius, nggak bohong. Itu dia lagi jaga gawang. Dia minta nomermu Fiy”.
Bagiku dia bukanlah seseorang yang asing lagi. Pernah sempat mengaguminya. Dia yang beperawakan kecil, hitam manis, pintar kaligrafi dan santun. Dia bukan santri tapi dia nyantri dipondokku. Sayangnya dia lebih muda dua bulan dariku. Akupun tak mau gengsi, akhirnya aku terima cintanya ketika dia mengungkapkan perasaannya padaku.
Kau cinta pertamaku
Kau yang pertama warnai hatiku
Kau yang pertama
Kau yang kuterima
Oh Tuhan..
Jagalah cinta kami hingga akhir nanti!
“Hai Fiy!” Sapa Fadhil dalam via sms.
“Iy Dhil”
“Wahai rinduku, belumkah engkau mengantuk?”
“Belum, aku belum ingin tidur”
“Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu. Sejak aku yakin kamu yang terbaik untukku.”
“Love you too. Maaf, aku kehabisan kata untuk menjelaskan cinta ini.”
“ya sudah, tak perlu kau jelaskan. Aku sudah mengerti. Sudah malam, cepat bobok! Jangan lupa berdoa! Miss you.”
“Miss you too”
Entah mengapa hatiku sudah terpikat olehnya. Serasa bunga-bunga ini bermekaran. Kubiarkan cinta ini mengalir. Kubiarkan fadhil mengisi kekosongan hatiku. Akupun tertidur dengan kehangatan selimut yang menutupi tubuhku.
Kring kring kring, terdengar suara pesan masuk. Akupun lantas bangun. Aku baca sms itu.
“Sayang, ayo bangun sholat tahajud!” Akupun lantas bangun, untuk mengambil wudlu dan pergi sholat tahajud kemudian kembali tidur.
Itulah perhatiannya, dia yang paling kusuka. Dia mencoba bangunkan aku untuk sholat malam. Walaupun sehabis itu aku kembali tidur. Hehe..
“Fiy, bangun! Keburu siang.” Ujar Pak De untuk membangunkan aku.
“Nggeh Pak De”
Itulah kekuranganku. Kalau sudah tidur sangat pulas, kalau nggak dibangunin ya nggak bangun. Hehe..
“Hai Fiy!” sapa temenku Sela.
“Hai juga Sel. Gimana kabarmu? Lama tak jumpa.”
“Alhamdulillah baik Fiy. Gimana liburanmu kemarin?”
“Sangat menyenangkan. Rasanya masih nggak mau balik ke pondok, hehe”
“Oh ya, aku hampir lupa. Ini kamu dapat kado dari si Fadhil” Sambil menyodorkan sebuah kado kepadaku.
“iya, sampaikan salamku terima kasih ya!”
“oke, sip.”




Isi surat dalam kado:
Barokalloh cantik.
Semoga sehat selalu, diberi keberkahan dalam segalanya. Sukses untuk semuanya. Semoga kalung dan gelang ini menjadi saksi cinta kita. Semoga bisa sedikit mengobati rindu kalau ingin bertemu. Semoga hubungan kita bisa langeng hingga kelak.
Maaf belum bisa memberikan kado yang terbaik.
Miss you..
Senang!!! Dapat surat dan kado. Tapi aku takut kalau ada pemeriksaan dari keamanan pondok. Pasti suratnya bakal disita. Karena itulah, surat itu pun kusembunyikan diatas saku baju yang sudah kulipat rapi dilemari agar tidak ketahuan.
Melihat kado itu, membuatku teringat senyum manisnya ketika berangkat sekolah. Aku bahagia dan tambah semangat pergi ke sekolah.
“Cinta kita tak pernah bersanding dekat. Bersanding dari jauh tapi dekat dihati. Cinta kita tidak pernah berbicara dengan lisan, tapi berbicara dalam tulisan. Cinta kita terjaga oleh dinding pesantren.” Gumamku dalam hati.


       
Juni, 2004.
MELARIKAN DIRI
Terasa hati tersiksa, terpukul, dan menangis. Rasa yang tak bisa dibohongi oleh hati. Rasa yang menyiksa seperti dalam penjara.
“Fiya, dari tadi kok dikamar saja? Mbok yo bantu-bantu Bude kamu masak!” Ujar Pak De.
Nggeh Pak De” Aku pun berdiri dan melangkahkan kaki menuju dapur.
“Masak nopo Bude?”
“Mau masak sayur santen. Kui kambile, paruten!
“Nggeh Bude.” Aku pun membantu Bude untuk memarut kambil.
“Fiy.. Fiy kamu kok koyo putri solo. Marut kambil ae suwe banget. Wes wes malah nyuwen-nyuweni
Aku pun bingung, apa yang harus aku lakukan saat itu. Ya sudah, aku pun langsung balik ke kamar. Rasanya lagsung sesak saat dikatain budeku kayak gitu. Orang tuaku saja tidak pernah mengataiku seperti itu. Ya dimaklum saja, kan masih belajar memasak.
“Rasanya serba salah. Ngelakuin ini salah, itu salah. Terus aku itu yang bener gimana?” Gerutuku dalam hati
Kalau kayak gini terus aku jadi pengen pulang.
“Fiya!” panggil Budeku.
Dalem Bude”
“Anterin makanan ini kesawah ya!”
Nggeh Bude”
Dalam perjalanan menuju ke sawah, aku menikmati udara yang begitu sejuk dengan semilir angin dan suara kicauan burung.
“Pak De ini makanannya.”
“Iya nduk, matur suwun
Aku istirahat sebentar digubuk sawah sambil ngesis dan nggusahi burung-burung disawah.
“Pak De. Nanti Fiya di anterin ke pondok ya!”
“Iya. Tapi nanti sehabis pulang dari sawah ya!”
“Nggeh Pak De.”
Sewaktu aku masih packing-packing untuk berangkat ke pondok, Budeku menanyaiku.
“Fiy, cepat nikah saja lo.! Biar nggak nyusahin bapakmu, sakit-sakitan ae ngentekno duwite wong tuwo.” Jleb, ujar      Budeku. Membuatku kaget dan sedikit malu.
hehe, Bude ini kok, isih cilik De. Sekolah riyen lah. Gumamku dalam hati.
“Bude. Fiya Pamit riyen nggeh
Yo. Iki jajane bawanen neng pondok!
Suwun Bude. Assalamualaikum.” Sebenernya Budeku ini dermawan tapi kadang-kadang omongane nyelekitne ati .. Batinku sambil melangkah meninggalkan kediaman Pak De dan Budeku.
“Habis kelas 3 MTS mau kemana Fiya?” Ujar ayahku.
“Fiya pengen pindah yah.”
“Lha kenapa nggak di terusin di situ saja?”
“Pengen, tapi Fiya udah nggak betah disini. Fiya pengen pindah ke Bogor.”
“Tapi nanti di Bogor nggak ada saudara lho.”
“Nggak apa-apa yah, Fiya berani. Liburan nggak pulang juga nggak apa-apa, di pondok kan masih ada temen yang piket liburan , yang penting Fiya pindah sekolah yah”
“Iya nak, kalau itu keinginanmu dan itu yang terbaik buatmu, ayah merestuimu.”
Akhirnya, akupun bebas dari mereka. Aku melarikan diri untuk pindah sekolah, sebenarnya nggak boleh sama Pak De dan Budeku, alasannya jauh dan nanti nggak ada yang jenguk, tapi aku tetap memaksa untuk pindah.
Yes… yes … beeeebaaaas ….. Gumamku ketika pulang dari Jawa Tengah.


Agustus, 2004.
“Pacar belum tentu jodoh”
Tak tau apa yang ku pikirkan saat itu. Saat aku sudah pindah dari pati. LDR atau cinta jarak jauh, bisakah aku melalui itu semua? Bisakah aku menahan kerinduan ini? Sedangkan obatnya rindu adalah bertemu.
Dia, apakah dia bisa menjaga cinta jarak jauh????
Mungkinkah kelak dia akan menajadi jodohku???
Akankah aku menikah dengan laki-laki yang lebih muda dariku dua bulan???
Apakah mungkin dia bisa lebih dewasa dari padaku???
Setelah  dipikir-pikir, lebih baik aku putus dengannya. Aku harus segera bilang kepada fadhil. Sebelum cinta itu terlanjur. Sebelum semua akan lebih sakit.
“Assalamualaikum Fadhil???
Sebelumnya aku minta maaf??? Sebaiknya hubungan kita berhenti sampai disini dulu.”
“Waalaikum salam Fiya,,,
Kenapa engkau berfikiran seperti itu Fiy?? Apakah kau sudah menemukan laki-laki yang lebih baik dariku??”
“Tidak. Bukan seperti itu Fadhil. Aku hanya ingin lebih fokus untuk mengaji dan sekolah.”
“Fiya, kenapa kau tega hancurkan hatiku???”
“Nggak fadhil. Kau harus mengerti! Aku masih mencintaimu, tapi aku harus fokus pada sekolahku. Yakinlah!!! Jika kita berjodoh kita pasti akan bertemu.
Maafkan aku fadhil???”
“Kamu jahat Fiy. Bukan seperti ini caranya.”
“Ku mohon kau mengerti fadhil! Aku yakin engkau akan mendapatkan gadis yang lebih baik dariku.
Hubungan kita berakhir sampai disini. Biarkan aku memantaskan diriku untuk menanti sang jodoh yang  pasti. Sebelum kita melangkah lebih jauh. Aku tak ingin menyakitimu lebih dalam. Karena engkau belum tentu jodohku.”
Ngejomblo aja dulu deh. Sembari menanti sang jodoh, lebih baik menyibukkan diri dengan memantaskan diri menjadi pribadi yang lebih baik. Memantapkan hati dengan membangun cinta untuk sang jodoh.
Ingat!!! PACAR BELUM TENTU JODOH.



April, 2007.
“Dilema”
Suatu perjuangan untuk melanjutkan perjuangan atau berhenti sampai disini. Hidup adalah perjuangan yang harus diperjuangkan. Apalah arti hidup jika perjuangan berhenti tiada arti?
“Nak, kamu mau nerusin sekolah dimana?” Tanya ayahku.
“Fiya, belum ingin kuliah yah. Fiya ingin mondok dulu saja. Sehabis mondok baru kuliah.”
“Ooo…ya sudah kalau itu yang kamu inginkan nak. Ayah nurut saja.”
Teman-temanku pada pusing mikir nerusin kuliah dimana. Bingung dengan jalur-jalur yang ditempuhnya, dan menanti kepastian diterima atau tidaknya. Alhamdulillah aku tak perlu pusing memikirkan tentang kuliah. Karena aku sudah tenang dengan pilihanku untuk nerusin di pondok.
“Wahhh kamu enak ya Fiy.” Ujar fisa.
“Enak kenapa??”
Ya…kamu tak perlu pusing-pusing mikirin jalur kuliah dan menanti kepastian diterima atau tidaknya.”
“Iya lah. Karena tujuanku sudah pasti dan aku merasa tenang dengan seperti ini.”
Malam ini adalah malam penantian teman-temanku menunggu jawaban penerimaan jalur SPAN/SNMPTM. Semua pada khawatir menanti jawaban.
Aku hanya tolah toleh, bingung melihat sikap mereka yang mondar mandir dengan menggenggam hand phone masing-masing, untuk menanti sms diterima atau tidaknya.
Suasana tegang! Hening!
Teng…teng…teng…! Suara jam menunjukkan pukul 24.00. Dimana waktu yang mereka tunggu-tunggu.
Bismillahirrohmanirrohim, dengan kompak mereka ucapkan basmalah saat buka sms.
“Yess…aku diterima jalur SNMPTN di Trunojoyo.” Ujar Fika.
“Yess…aku diterima jalur SPAN di UIN Suka (Sunan Kalijaga).” Ujar Kaila.
“Hei fir…gimana denganmu??” tanyaku pada Fira melihat ekspresi mukanya yang berbeda dari teman-teman,
“Aku tidak diterima Fiy.”
“Sudahlah. Bersabarlah! Saat ini kamu belum beruntung. Kan masih ada SBMPTN. Kamu harus coba itu!” Ujarku.
“Iya Fiy, benar katamu. Aku harus coba itu. Siapa tau aku beruntung.”
“Nah, gitu lho yang semangat!!”
Malam sudah berganti pagi. Sang matahari sudah menampakkan dirinya. Aku dan teman-teman masih belum bangkit dari tempat tidur, walaupun tadi sudah subuhan. Mungkin efek tadi malam. Semua badan terasa lelah dan capek.
Suara ringtone hpku berbunyi. Ayahku menelefon.
“Nak, ayah berubah pikiran. Bagaimana jika kamu mondok sekalian kuliah?” Suara ayah terdengar jelas ditelingaku.
“Jika ini pilihan ayah dan yang terbaik buat Fiya,  Insyaallah Fiya mau melanjutkan mondok dengan kuliah.”
“Tapi, kenapa tiba-tiba ayah berubah pikiran???” Sambungku penasaran.
“Gini lho fiy, sekarangkan sudah zaman modern, pendidikan semakin maju, kebutuhan kita tentang pendidikan pun juga harus maju. Sekarang kita harus bisa seimbang. Mondok dapat, kuliah juga dapat.
Jangan sampai kita itu ketinggalan zaman, tetapi jangan pula kamu mengikuti zaman. Untuk tempat dan jalur kuliah, ayah serahkan sama kamu.” Terang ayah.
“Iya, yah. Insyaallah fiya ingin ikut jalur SBMPTN.”
“Ya sudah, pikirkan semua baik-baik! Kamu pasti lebih tau yang terbaik untukmu. Do’a ayah menyertaimu. Semoga diberi kelancaran. Amin”
Ketika hati mulai dibalut oleh kebimbangan. Dilema antara kampus dan jurusan apa yang harus ku pilih. Sebenarnya ingin sekali bisa kuliah dekat orang tua, tapi sayang, tak ada tempat yang pasti untuk mondok tahfidz.  Dimana?? Disisi lain aku ingin sekali mondok di daerah bogor, yang terkenal udaranya sejuk dan nyaman. Aku yakin aku pasti betah disana, tapi dua pilihan tersebut sulit untukku mencari informasi yang jelas dan pasti. Lagi pula aku tak punya kenalan satu pun di sana. Akhirnya dua pilihat tersebut ku abaikan.
Akhirnya, aku memilih kuliah untuk jalur SBMPTN di UIN suka (Sunan Klijaga), Universitas Jambi, dan UIN Malang.
Senin pagi, seharusnya aku sudah pergi ke sekolahan untuk mendaftar SBMPTN yang berakhir jam 12.00 siang. Tapi, pagi itu aku harus bantu-bantu di ndalem untuk acara pengajian umum yang akan dihadiri oleh Kyai Anwar Zaid.
Setelah selesai dari ndalem aku pun langsung mengerjakan sholat dzuhur.
“Oww iya, aku harus mendaftar sekarang juga. Aku harus pergi ke sekolahan sekarang.” Pikirku. Saat aku tiba disekolah , aku langsung menghadap komputer untuk memulai mendaftar.
Aku pun baca keterangan paling atas.
Maaf anda sudah tidak bisa mendaftar. Waktu telah berakhir senin pukul 12.00 WIB.
“Fir, aku terlambat mendaftar.” Ujarku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Lohh,,, kok bisa? Kamu dari mana aja dari tadi, kok baru nongol? Ya Sudah jangan bersedih!”
Aku lupa kalau pendaftaran berakhir jam 12.00 siang. Dari tadi aku rewang di ndalem untuk acara pengajian nanti malam.”
“Sudahlah, jangan disesali! Waktu tak kan bisa kembali.”
“Iya Fir, aku akan ikut jalur regular saja.”
Mungkin takdir. Jika Allah belum menghendaki, semua belum berjalan dengan lancar. Tak boleh putus asa. Karena Allah memberikan banyak cara untuk mendapatkan kesuksesan.
Pada akhirnya, aku mencari pondok yang dekat dengan kuliah dan mencoba untuk mencari informasi.
Terlihat sosok yang berbadan tinggi, berkaca mata, sedang menyiram bunga. Sepertinya dia kuliah.
“Mbak…???” Panggilku.
“Iya dek, ada apa??”
“Mau tanya nih, mbk tau nggak pondok qur`an yang dekat dengan kampus???”
“Di Jogja ada dek.” Mendengar hal itu, tumbuh semangat untuk segera kembali melanjutkan pengalaman mondokku di tempat yang baru.
“Pondok al-Iman lumayan dekat dengan kampus. Aku punya teman disana, biasanya untuk perjalanan ke kampus dia naik sepeda ontel.” Jelasnya.
“Oke makasih mbak.”
Dengan berbagai usaha yang telah ku lalui dan kegagalan telah kulewati, kini telah kutemukan tempat yang tepat.
Kini pohon-pohon itu sudah melewati musim gugurnya. Pohon-pohon itu akan memulai untuk bersemi lagi. Percayakan semua pada Tuhan! Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Siapa yang berusaha pasti akan menuai hasilnya.







Juni, 2007.
    “Assalamualaikum PPTQ (ponpes tahfidzul qur`an)”
Ahlan wasahlan pesantrenku. Akhirnya aku bisa singgah bersama orang-orang yang menghafal al-qur`an. Ketenangan dan ketentraman sangat kurasa ketika samping kanan dan kiriku terdengar lantunan al-qur`an. Berkumpul bersama orang-orang shalih yang indah dengan pakaian santrinya. Jiwa yang ramah tamah, membawa ketenangan dalam hati.
Awal juni, aku diantar oleh ayahku yang jauh dari pulau seberang hanya untuk memindahkanku ke pesantren ini. Lalu aku dititipkan oleh abah Kyai Irsyad. Aku berjalan dan melihat seluruh sudut pondok. Terlihat ruang kamar yang berukuran kecil dihuni oleh banyak santri. Ruang dapur yang setiap sudutnya sudah terlihat hitam pekat, begitu juga dengan wajan-wajan dan pancinya. Namun disana terdapat taman bunga yang indah dengan berbagai bentuk bunga.
Mentari pagi itu, menyapaku dengan senyuman indahnya. Aku pun membalasnya dengan senyuman juga. Embun pagi yang memberikan kesejukan kepada seluruh santri. Kegiatan senam pagi dengan senam indahnya santri. Begitu indah dan asyik pagi itu.
“Dek, namanya siapa??? Kok baru lihat?” Tanya mbk santri.
“Alfiyatur Rosyidah.” Jawabku seketika itu.
“Mbak sendiri siapa??” Lanjutku tak mau kalah.
“Qurotun Nada. Salam kenal ya dek! Dibetah-betahin dipondok.”
“Iya mbak . Insyaallah.”
Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak sekali. Aku bingung harus bilang ke siapa. Saudara saja tak punya.
Aku mulai tak tahan dengan sesakku, hingga air mata pun menetes dan isak tangisku terdengar oleh mbak-mbak santri.
“Kenapa dek??? Kamu sakit ya???” Tanya mbk Nada.
“Iya mbk. Asmaku kambuh lagi. Obatku habis.”
“Ya sudah, nanti aku belikan. Kalau ada apa-apa bilang aja ke mbak nggak papa, nggak usah sungkan atau takut. Anggap aja saudara sendiri!!”
“Isak tangisku semakin menderu. Aku merasa terharu atas kepeduliannya terhadapku, walau dia bukan saudara kandungku.”
Terkadang, kasih sayanglah yang membuat aku mampu bertahan, menahan rasa sakit atau cobaan yang datang.
Besok adalah hari ultahku…
Aku mulai gelisah. Adakah orang yang akan memberikan surprise dan kado untukku, seperti waktu aku dirumah. Do`aku, ya Allah, dekatkanlah aku bersama orang-orang yang menyayangiku dan yang aku sayangi!!
Aku iri dengan temanku, ketika ultah dirayakan bersama keluarganya dan orang-orang terdekatnya. Sedangkan aku??? Mungkinkah??? Sedangkan aku jauh dari mereka, orang tuaku.
Malam semakin sunyi, galau semakin merana. Sepertinya semua orang tak ada yang mengetahui hari  ultahku, walaupun tau mugkin mereka tak peduli!
Malam itu aku terlelap tidur dalam kegalauanku. Prok…prok. Suara tepuk tangan. Aku terbangun. Gelap! Hening! Lalu kulihat cahaya lilin dari arah pintu. Dengan sebuah kue tart ulang tahun.
“Happy Birth`day Fiya. Barokallah cantik. Selamat tambah umur ya! Semoga lebih dewasa dan nggak cengeng lagi. Hehehe” Ucap mbak Nada.
Sesuatu yang tak pernah kuduga. Sesuatu yang mengesankan untuk pertama kalinya aku di PPTQ.
Aku sayangi mereka seperti kakakku sendiri. Aku sayangi mereka seperti keluargaku sendiri.
Ketika malam mulai dibalut oleh kerinduan. Rindu kian mengembara ke seberang sana. Malam mengingatkanku pada masa lalu bersama mereka, yang pertama kali memberikan kasih sayang padaku.

“Harus bertahan”
Hidup itu harus diperjuangkan, untuk mengapai kehidupan yang lebih baik dan diinginkan. Tak merasa putus asa, tapi mungkin hanya merasa sedikit lelah. Dengan sepeda ontelku yang berwarna pink, aku pergi ke kampus.
Langkah demi langkah , ku susuri setiap jalan, walau dengan nafas yang tak beraturan, sedikit terengah-engah. Sepedaku melaju lebih cepat. Aku seperti dikejar oleh waktu dan katena sikap dosen yang sangat disiplin itu. Tak lupa aku bawa ventolin buat jaga-jaga sewaktu asmaku kambuh.
Settt.. Alhamdulillah sampai. Ku ketuk pintu kelas dan ku ucap salam.
Tok, tok, tok. Assalamualaikum???
Beliau yang berpawakan tinggi, dengan wajah yang marah, dan kesal dengan sikapku yang terlambat, dengan  melambaikan tangan dan berkata. “Sudah! keluar saja kau! Ganggu temennya belajar aja. Ini sudah jam berapa???”
Aku pun langsung keluar dan menutup pintu.
Huft, udah tadi buru-buru, capek, sampai sini diusir! Gerutuku. Satu kesalahan semoga tidak terulang lagi.
Allahu Akbar, Allahu Akbar..
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Sudah ku dengar adzan dzuhur, waktunya balik ke pondok, habis itu setoran hafalan ke Abah Kyai.
Teng…teng…teng… Suara bel setoran hafalan. Baru saja datang sudah disambut bel ngaji. Waduh.. Waduh,  belum ngelanyahin hafalan, semangat-semangat !!!
Suasana yang sangat sumuk, lelah, hafalanku kebolak-balik dengan ayat sebelumnya. Tinggal dua orang lagi yang maju. Tinggal aku dan temanku.
“Kamu duluan ya!” Ujarku.
“Nggak, kamu aja yang duluan mbk!” Ujar Afis.
“Please…” Kataku dengan wajah memelas.
“Ya ya, aku yang duluan.” Ujar Afis dengan terpaksa.
Dengan waktu yang sedikit, aku membenahi hafalanku ayat per ayat. Deg…deg.. giliran aku nih yang maju.
Bismillahirrohmanirrohim…
Shodaqallahul adzim..
Alhamdulilah bisa, walaupun sempat lupa tapi masih bisa membenarkan. Kucium dan kupeluk mushaf Al-Qur`anku. Kubilang padanya, “ mas Al, semoga aku bisa cepat menyelesaikanmu, dan slalu bisa menjagamu.”
Sambil menyelam minum air. Mengarungi ilmu agama dipondok sambil meraih ilmu pengetahuan umum dikampus. Dengan penuh semangat dan kerja keras,   Allah pasti akan memberikan kemudahan dan kelancaran dalam kehidupan. Seperti pepatah ini: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Terlihat disudut kamar, piring kotor menumpuk. Aku hanya memandangnya karena lelahku sangat terasa. Badan pun seperti tak berdaya.
“Mbak fiy?” Panggil mbak Ria.
“Iya mbak Ri, kenapa?”
“Nggak lupa kan, kalau ini piketmu???” Ujarnya.
“Iya. Aku nggak lupa kok.”
Setelah itu aku memberesi piring-piring kotor itu untuk ku cuci. Teerrrr…. Suara piring pecah.
Badanku lemes sekali. Dadaku terasa sesak, kepalaku sangat pusing. Brukk.. Aku jatuh dan tak tersadarkan diri. Bangun-bangun aku sudah di atas kasur.
“Fiy, gimana? sudah agak enakan???” Ujar Qiya.
“Alhamdulillah, tapi masih terasa pusing.”
“Ya sudah, Istirahat aja dulu. Mungkin kamu kecapekan. Cepat sembuh ya!”
“Iya Qiy,,, makasih ya.”
“Mbak Fiya, ini tehnya diminum dulu! mumpung masih anget. Jangan lupa obatnya diminum ya!” Ujar mbk Ana.
“Iya mbak, makasih.” 
Selama tiga hari hanya berbaring di atas kasur. Ingin rasanya bisa beraktifitas seperti teman-teman. Tapi, badanku belum bisa diajak kompromi. Itulah yang harus dimengerti bahwa hidup tak selamanya lurus, pasti ada liku-likunya. Hidup adalah perjuangan untuk melawan beribu ujian, beribu cobaan yang suatu saat akan diganti oleh Allah dengan kebahagiaan.












“Kota Impian”
Pare. Kota impianku. Aku ingin belajar dan menekuni ilmu bahasa Arab disana tapi impianku belum terwujud, belum ada biaya untuk kesana.
Celenganku, kau harapanku, kau yang ku nanti selama ini. Cepet penuh ya!! Setiap hari aku menyisakan uang saku Rp 2.000, sedangkan yang Rp 3.000  untuk jajanku. Do’a setiap hari ku panjatkan, agar harapanku ke kota Pare bias tersampaikan.
Alim berdiri didepan meja dan memandangku penuh tanda Tanya.
“Hai Lim, ngomong aja deh kalau mau ngomong! Nggak usah sungkan!” Ujarku.
“Fiy, kamu pengen ke Pare nggak??”
 “Apa? Pare??? Pengen banget Lim.”
“Siip, ada temenya.” Ujar Alim.
“Ngomong-ngomong berapa sih biaya ke Pare??”
“Kira-kira butuh Rp 1.000.000 lebih anggarannya.” 
“Mahal banget.” Kataku sambil mengingat isi celenganku.
“Iya, emang mahal. Itu dari pengalaman kakak-kakak yang pernah pergi ke Pare. Anggaranya sekitar segitu.”
“Waduh.. Liburan ini belum bisa dong?! Because dananya belum ada.”
“Ya tak masalah. Liburan kapan aja bisa. Nah mulai sekarang harus menabung, walaupun hanya Rp 2.000,- per hari!”
“Yakin, kita bisa kesana??? Kata Alim sedikit ragu.
“Kenapa nggak yakin? Yakinlah, kalau emang ada niat dan tekadnya. Yang penting jangan lupa menabung tiap hari!” Kataku penuh semangat.
“Oke. Siip!! Besok kalau tabungannya sudah mencapai anggaran, calling-calling ya!”
“Siip! Good Luck.”
***
Kami sibuk dengan kegiatan dan aktifitas masing-masing. Waktu siang telah berganti malam  dan tak terasa sudah berganti pagi lagi. Hingga tak disangka kini telah mendekati liburan. Tapi belum tahu bagaimana kabar tabungan kita.
Hand phone berdering dikamarku. Aku yang sedang enak-enakkan membaca buku, merasa terganggu dengan suara itu. Hpku berdering hingga tiga kali.
“Siapa sih ini?! Mengganggu orang lagi baca buku aja!” Gerutuku.
Sekali lagi benda itu berbunyi dengan tak sabarnya.
Sambil membawa buku, akhirnya aku mengangkat panggilan di hpku.
“Hello … Assalamu’alaikum???”
“Wa’alaikumsalam”
“Dengan siapa ya?” Ujarku kepada seseorang pemilik nomor yang tak dikenal itu.
“Aku Alim, Fiy. Masak lupa dengan suaraku?”
“Hehe.. Maklum aku kan nggak pernah dengar suaramu di telfon.”
“Dari tadi aku telfon nggak di angkat-angkat?”
“Ya maaf. Lagi sibuk baca, jadi nggak kedengeran.” Jawabku penuh alasan.
“Gimana kabar tabunganmu Fiy?”
“Alhamdulillah udah agak berat … (berat banyak recehnya) hehe”
“Astaghfirllahal’adzim, apa-apaan tuh?! Tabungan mu pake koin??”
“Iya, tapi itu yang tabungan ayam, kalau yang tabungan bebek untuk uang kertas.”
“Oww, gitu. Wah berarti tabungannu ada 2 dong??”
“Iya dong, siapa dulu, Fiya gitu loh!!”
“Jempol buat kamu deh!!” Ujar Alim.
“Kapan nih, kepastian liburan belajar ke Parenya?” Tanyaku serius.
“Kapan ya?? Sebenarnya sih pengen habis lebaran, tapi..”
“Tapi apa?” Cetusku.
“Tapi, aku pulang ke Riau. Hehe.Gimana dong?”
“Kenapa sih pulangnya nggak ditunda?”
“Nggak boleh lah, Umi dan Abi nyuruh aku pulang.”
“Ee.. Dasar anak mami!” Ledekku.
“Biarin, emang gue pikirin!?”
“Eh … kalau sehabis kamu pulang dari Riau gimana? Bisa nggak? Aku udah pengen banget nih ke Pare.”
“Insyaallah bisa. Bulan Syawal ke-20 ya!”
“Oke deh. Beneran kan? Nggak ditunda lagi?”
“Nggak-nggak, kali ini aku serius kok.”
“Huft … sebel sih, impianku ke Pare tertunda. Tapi nggak papa deh biar tertunda, nanti dompet pasti akan lebih tebal. Jadi lebihnya bisa sekalian liburan.”
Kupandang dan kupegang tabungan ayam dan bebekku, aku berharap melalui dua tabungan ini, impianku ke Pare bisa terwujud.
Ku alihkan pandangan ku ke meja makan. Terlihat lauk ayam potongan kecil-kecil, aromnya lezat. Aku pun mendekatinya.
“Mbak Yuna.” Panggilku.
“Iya ada apa?” Sahutnya. “Jangan bilang kalo kamu mau santap lauk sore mu itu!” Terka mbak Yuna seperti sudah hafal kebiasaanku.
“Hehe” Dengan wajah senyum meringis aku menjawabnya.
“Dasar … kebiasaan.” Ujarnya kembali.
“Biarin. Perutku laper. Mumpung masih ada sisa nasi sarapan pagi.” Jawabku.
“Up to you lah! Yang penting jatah makan soremu  habis.”
“Iya iya” kataku dengan segera meracik bakal calon makananku itu.
***
welcome to Pare!
“I’m caming Pare . kota yang kita impi-impikan selama ini akhirnya bisa kesini. Dimana tempat untuk menambah wawasan bahasa dan qowaiddah nahwu dan shorofnya lebih dalam.”
“Fiy, kita nggak hanya dapat ilmu disini, tapi disini juga ada tempat liburannya loh.”
“Ohh iya? Dimana emang??” Aku mulai penasaran dengan tempat-tempat yang bisa aku kunjungi dikota ini.
“Belum tau jelas sih, aku cuma dengar dari orang-orang yang pernah liburan ke Pare.”
“Dasar … nggak jelas!!”
“Hehe..”
“Bikin penasaran aja kamu nih.”
“Gampang, nanti kita nanya-nanya temen kan bisa.”
“Oke deh. Manut! Akhirnya mimpiku terwujud Lim.” Girangku tak menyangka bisa menginjakkan kaki dikota impian  
“Berada disini dalam mimpiku. Lega rasanya. Disini kita akan membiasakan berbahasa arab, nggak perlu malu dan sungkan dengan temen-temen karena emang wajib berbahasa arab. Kita akan banyak tambahan kosa kata. Ples … plesnya kita bisa berlibur sekalian disini.” Lanjutku.
“Iya Fiy … Alhamdulillah. Ini mimpi kita yang sudah terencana 1 tahun yang lalu. Dan akhirnya dengan tabungan itu kita bisa sampai disini.”
Wujudkan mimpi-mimpimu itu, rencanakan dengan waktu yang pasti. Wujudkan dengan usaha dan do’amu. Allah akan mendengar dan mewujudkan mimpi itu.


 Februari, 2009.
“Love In The Silent”
Langkah kaki yang lewat disampingku terasa berbeda. Suara langkahnya, cara berjalanya dan caranya mendahului ku dengan santun. Laki-laki yang belum lama ku kenal itu, membuatku ingin tau siapa sosok itu sebenarnya. Ketenangan yang melekat padanya membuatku selalu memikirkannya.
Ku senggol Ana yang sedang berjalan di sampingku. Saat itu kami tengah melewati warung terdekat dipondok.
“Apaan sih fiy???”
“Yang baru lewat tadi siapa sih???”      
“Ooowww… Tadi to. Dia Syafa`! hayoo, kamu suka ya sama dia?”
“Apa? suka??? Nggaklah, hanya saja dia kok terlihat berbeda dengan kakang yang lain?”
“Ciee…jujur dech???woles aja dech sama aku.
“Tau ahh!” Aku terus berjalan cepat.
Langkah kaki laki-laki itu berhenti disebuah masjid. Tak lama kemudian aku mendengar suara adzan dari arahnya berhenti.
“Suara siapa itu Na??” Tanyaku.
“Itukan suaranya Syafa`. Pasti dia tadi habis dari warung makan Lek Parmi, kemudian adzan magrib.”
“Ohh… Iyakah??” Kataku.
“Iya.. Suaranya emang bagus.”
“Sering dengar suara adzan dan ngajinya, tapi nggak tau kalau itu ternyata suarnya kak Syafa`.”
“Diem-diem, temenku ada yang lagi terkagum-kagum nih??”
“Ehmm, apaan sih kamu. Eh, teman-teman ayo kita makan!! Ujarku menawari mereka sambil mengalihkan pembicaraanku tentang kak Syafa’.
“Ayoo!! Aku udah laper nih.” Ujar Nindi yang dari tadi nungguin aku dan Ana.
“Maaf. Tadi esnya di mbah Gaul nggak ada.”
“Udah nggak apa-apa, air kran lebih nikmat kok!”
Kebersamaan seperti inilah yang tak akan terlupakan, makan bersama dengan lauk seadanya, apalagi kalau ada krupuk dan sambal, nasi pun habis disantap.
Malam semakin malam, sunyi semakin sunyi. Hanya ada satu sumber suara lantunan Al-Qur`an dari makam sebelah pondok, acara sima`an rutin sebulan sekali. Terasa nyaman dan tenang hati ini mendengarnya, seperti tak asing lagi suara itu. Seperti suara seseorang yang melantunkan adzan magrib tadi.
Semangatku semakin membara karena mengenalmu. Entahlah!!! Aku menemui ketenangan dalam dirimu, sikap dan perilakumu. Aku tak tau, ini rasa kagum atau rasa cinta?
Jika ini cinta, aku akan mencintaimu dalam diamku. Aku akan mencurahkan rasaku dengan mendo`akanmu. Aku yakin bila memang kau yang terbaik untukku, Tuhan akan mempersatukan kita dalam cinta suci-NYA.
Pagi semangat baru. Aku tak ingin kalah seperti matahari itu!
Ketika kaki melangkah dan berjalan menuju gedung kampus, dibawah pohon kulihat dirinya. Laki-laki berpeci hitam, berpawakan tinggi hitam manis telihat sedang menunggu temannya. Dia menoleh kepadaku sembari tersenyum dan menyapa. Aku pun dengan wajah malu-malu membalas senyumnya .
Langkahku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Jantungku serasa berdetak kencang, rasa itu semakin mengebu-gebu. Biarlah rasa itu tetap dalam diam. Biar tetap terjaga oleh diam. Biar rasaku padanya yang akan menambah semangatku. Aku yakin engkau masih terjaga. Aku yakin jika Allah meridhoi, kita pasti bisa bersama dalam ikatan suciNYA.


****

“Surat untuk sang jodoh”
Assalamualaikum jodohku. Masih sampai mana langkahmu? Kuharap engkau masih tetap terjaga. Aku disini menantimu. Membangun cinta ini untukmu kelak. Aku menjaga cinta ini, dan akan  memberikan padamu kelak pada waktunya.
Wahai jodohku…terkadang aku tak sabar ingin tau siapa dirimu, mencoba menebakmu. Tapi, tetap saja tak bisa, tak bisa meyakini. Terkadang aku  lelah dalam menunggu, dan merasa bosan untuk menunggu. Kelelahan itu aku obati dengan mendo`akanmu dalam setiap usai sholatku.
Jodohku…ketika aku mulai membangun cinta ini. Disitulah aku harus meyakini orang yang belum jelas keadaannya tapi akan pasti kedatangannya. Aku yakin siapa pun engkau adalah orang yang kelak bisa membimbingku dan anak-anakku. Aku disini tidak hanya menunggumu dengan kekosongan, tetapi dengan memantaskan diri dan mendekatkan diri pada sang Pemberi Cinta dan Kasih. Agar Allah meridhoiku bersama orang yang saleh sikap dan tutur katanya. Bagus iman dan akhlaknya. Yang kan membawa imanku lebih dekat pada-NYA. Yang menyayangiku dan anak-anakku.
Rindu, terkadang ada. Tapi tak tau untuk siapa. Kusampaikan rindu ini lewat do`a, agar bisa sampai padamu, jodohku.
Jodohku, kau yang masih dirahasiakan oleh Tuhan. Ku harap engkau adalah orang yang mengerti tentang agama lebih dariku. Agar kau mampu membimbingku. Kuharap engkau adalah orang yang setia hingga kita tua. Kuharap engkau lebih dewasa, agar hubungan kita tetap terjaga dengan baik.
Dalam istikhorohku, semoga kau bisa menerimaku apa adanya. Yang menyayangiku dengan ketulusan dan kedewasaan. Semoga engkau datang pada waktu yang tepat. Kutunggu kau pada ikrar suci kita.
       









“Secercah Harapan dan Do`a”
        Menunggu hari wisuda yang tak lama lagi. Tak sabar rasanya untuk berdiri memakai toga, tersenyum bahagia, menunjukkan prestasi pada dunia dan berkata “Akhirnya aku sarjana.”
        Inilah hari yang ku nanti-nanti, tapi hatiku juga sedikit sedih karena tak bisa seperti teman-teman lain yang didampingi oleh kedua orang tua mereka. Air mata ini pun sempat  bergulir saat master of ceremony memanggil nama ku untuk di wisuda. Berusaha menguatkan hati meski hanya di dampingi oleh kakak pondok yang mewakili waliku .
        Setelah acara selesai, semua mahasiswa yang telah diwisuda satu persatu keluar dari gedung begitupun dengan aku. Saat aku melangkah menuju pintu, terlihat sosok laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Dia membawakan setangkai bunga mawar .
Dek Fiy, happy graduation yaa. Semoga ilmunya berkah dan bermanfaat .” ujarnya sambil mengulurkan bunga mawar kepadaku.
Makasih kak Syafa’.” Ujarku.
Jangan bersedih! Ada kakak disini. Teman-temanmu menunggu di bawah tuh.” Sambil membimbingku menuruni tangga gedung.
iya kak.” Ujarku haru.
Sebuah moment yang tak kusangka dan sulit untuk kupercaya hadirnya seorang kak Syafa’ di hari bersejarahku ini, apalagi dia membawakan sekuntum mawar merah untukku.
Selamat ya Fiya.” Ucap teman-temanku sambil memberikan bunga, kado dan surprise-surprise lainnya.
Ayo kita foto bareng!”
siaap deh. Aku sama kak syafa’ dulu dong di fotoin hihi ..”
“Ciiieeee … diem-diem langsung temuin mertua tuh.”
ssttt.. Apaan sih kalian ini!?” Jawabku tersipu. Cekrek-cekrek.
“Udah, gantian kita doong!
Cekrek-cekrek.
****
        Bahagianya hati ini .. tinggal nunggu waktunya pulang ke kota kelahiran. Bagaimana dengan Mr.S itu …. ? dia kok sepertinya memberi secercah harapan padaku. Tapi apa mungkin? Ah .. Rumahku kan nan jauh di sebrang sono, sedangkan kak Syafa’ aku tak pernah tahu rumahnya dimana. Jangan deh jadi korban PHP nya!! Hmm .. sudahlah jangan terlalu berharap! Inget kedua orang tua nunggu di rumah!!

Welcome my beloved Jambi
“Akuu puulaaaaang … Ayah …. Ibu …. “Telihat mereka di depan rumah, menunggu kedatanganku .
“Ayah.. ibu .. aku rinduuu.!” Sambil ku peluk mereka. Buncahan rindu ini terobati sudah.
“Bagaimana dengan wisudamu nak?”
“Alhamdulillah lancar yah .. bu ..” Jawabku.
“sudah siap kan, kalau terjun untuk mengamalkan ilmumu di sekolah kampung kita nak?”
“Insyaallah siap yah .. tapi kalo terjun ke laut gak siap yah. Hehe,” candaku.
“Ah, kamu ini nak. Gimana, ayah sama ibu masih awet muda kan??” Seloroh bapak tiba-tiba.
“Hemm, gimana ya??” Jawabku sengaja sok menimbang.
“ Hehe, bapak sama ibuk mah masih tetep muda dan romantis kaya romeo Juliet.”
“ Haha bisa aja kamu nak. Ya sudah, mandi dulu sana gih! Di lanjutin lagi ntar ngobrolnya.”

        Menjelang sore, saat mulai terdengar indahnya kicauaun burung-burung alam. Ibu pun menyiapkan masakan spesial untuk sore ini karena putri kesayangan telah kembali. Aroma masakan ibu kali ini sangat menggoda hingga membuat perut lapar ini makin keroncongan.
“Udah mandi nak? Ayo kita makan bersama kalau gitu!”
“Assiik.”
“Hemm. Masakan ibu tetep yummy ya?! Kog ibu masih inget sama makanan favoritku??”
“Iya dong. Ibu kan masih muda, belum pikun. Masa lupa sama makanan kesukaan anak sendiri?!“
Haha, kami pun tertawa bersama.
Sudah lama sekali rasanya tidak menikmati suasana makan bersama keluarga seperti ini. Keadaan rumahpun sudah banyak berubah dari saat aku belum pergi dulu. Banyak pembaharuan, semakin bagus. Bunga-bunga bermekaran melengkapi keindahan surga kelurgaku yang kini menjadi tempatku berteduh .
        Masih seperti mimpi, kenyataan yang sedang aku jalani kini. Aku sudah wisuda dan aku sudah di rumah. Sekali lagi kucubit pipiku untuk memastikan kebenaran yang aku jalani. Ah .. Sakit. Aku sedang tidak bermimpi. Tentang rinduku pada tanah kelahiran yang ku simpan bertahun-tahun kini telah menemukan jalan pulang.



Mei, 2005.
“ku sambut pinanganmu”
Mata sudah mulai mengantuk. Malam pun tinggal keheningan. Hanya suara-suara jangkrik dan burung derkuku yang masih terdengar. Kupancal selimutku menutupi tubuh, lalu berdo`a dan ku pejamkan mataku.
Kukuruyuk...kukuruyuk....
suara ayam jago itu membangunkanku tuk sholat subuh. Aku bergegas bangun, sebelum ibu membangunkanku dengan percikan air. Tak lama setelah itu, ibu memanggilku.
        Fiya, bangun nak!!”
        Iya bu. Teriakku masih di kamar mandi.
Ibuku sudah siap menungguku berjama`ah sholat subuh di ruang sholat. Sedangkan ayahku sudah berangkat jam`ah di masjid.
Pagi masih terlihat petang, kabut menutupi arah jalan. Ayahku sedang meneguk segelas kopi dan roti buatan ibuku, untuk bekal ke ladang karet. Ibuku sibuk memasak untuk sarapan keluarga. Aku mencuci baju-baju yang sudah di dalam bak besar,  lalu menyiram bunga-bunga yang ada di halaman rumaku.
Melihat bunga mawar merah itu, membuatku kembali pada kenangan indah wisuda. Ketika kak Syafa` memberi ucapan selamat dengan memberikan sekuntum mawar merah. Tapi, itu dulu. Kini dia menghilang tanpa memberikan kabar padaku. Padahal kak Syafa` seperti memberikan harapan padaku. Dia yang telah menanamkan keyakinan padaku, bahwa dia yang terbaik untukku. Kenyataannya dia menghilang tanpa jejak. Mungkinkah kau seperti pelangi, kau datang memberikan keindahanmu, lalu kau pergi tanpa memberikan kabar padaku. Aku tak tau, apakah kau akan kembali atau tidak?!!
Malam seusai berjama`ah sholat magrib, ibuku menyuruhku berdandan mengenakan pakaian berwarna putih.
Nak, berdandanlah yang cantik! Pakailah baju ini???Nanti kita akan kedatangan tamu?
Iya. Emang mau ada acara apa bu?? Siapa tamunya???
Nanti kamu akan dilamar oleh seorang pemuda.
Mendengar hal itu, hatiku mulai tak karuan. Siapakah pemuda itu? Lalu bagaimana dengan laki-laki yang pernah memberikan bunga mawar itu? Ya Allah ...aku takut!!
Tok..tok...tok..Assalamualaikum
Terdengar suara salam rombongan. Ayah menemui tamu, lalu ibuku diutus ayah untuk memanggilku.!
Nak, tamunya sudah datang. Ayo keluar..!!!
Fiya, takut buk!!
Takut kenapa nak???Ayolah...tamu kita sedang menunggu. Tak enak nanti.!
Aku berjalan keluar  menuju ruang tamu dengan langkah yang sangat pelan. Kepala ku tundukkan. Aku tak berani menatap wajah para tamu. Aku duduk disebelah ibuku.
Langsung saja! Kedatangan kami bermaksud untuk melamar putri bapak!!! Untuk anak kami Ahmad Musyafa`. Ujar bapak keluarga dari tamu.
Aku seperti tak asing mendengar nama itu! Gumamku dalam hati.
Iya Fiy. Ini aku Syafa` yang pernah kamu kenal dulu. Malam ini aku ingin meminangmu??!
Benarkah kak Syafa`???Lalu kulihat wajahnya, aku sedang tidak mimpi.!
Benar, ini aku kak syafa`! Maukah kau menjadi istriku???
Suasana Hening!!!
Aku terdiam!
Bagaimana Fiya???Tanya Ayahku.
Aku hanya menganggukkan kepala.
 Aku tidak menduga, bahwa kak syafa` akan datang untuk meminangku.!! Apakah ini semua sudah direncanakannya? Karena seelumnya dia tidak pernah menghubungiku sama sekali, terakhir setelah ku wisuda. Terima kasih ya Allah...kau telah pertemukan kita kembali.
Kapan acara pernikahan bisa dilaksanakan ? Ujar Ayah Syafa`.
Secepatnya tidak masalah yah? Jawab Syafa`.
Bagaimana dengan Fiya??Tanya ayah Syafa`.
Nderek kak Syafa` yah! Ucapku sambil tersenyum.
Kala itu, kau hanya dalam do`aku. Sekarang terwujud dalam kenyataan. Akhirnya aku bisa hidup bersama orang yang kucintai lewat do`a dan ku do`akan dalam diamku. Besok namaku akan kau sebut dalam ikrar sucimu. Akan tercantum dalam undangan dan buku pernikahan kita.
Malam ini sangat indah, perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan. Allah telah pertemukanku dengan calon imamku yang ku nanti-nanti selama ini. Allah telah meridhoi kita dalam ikatan suci. Allah telah mengizinkan kita untuk membangun keluarga.
Fiya...sekarang kita sudah bersama, sudah halal dalam ikatan suci dan ridho-Nya. Aku bahagia bersamamu? Aku ingin mencintaimu seperti cintanya Ali dan Fatimah.
Iya kak. Kakak jangan menghilang lagi ya? Kakak jangan tinggalkan aku lagi.!
Tidak Fiya! Kakak akan selalu bersamamu. Kakak akan menjaga dan melindungimu. Maukah kau terbang bersamaku, menjelajahi dunia ini??Seperti burung merpati putih itu..?hehehe
Udah deh! Kakak jangan berkhayal???
Syafa` membalas dengan senyuman bahagianya.

Jika Allah telah menghendaki, dimana pun jodohmu, engkau pasti akan bertemu. Sedingin dan secuek laki-laki pasti dia mempunyai keromantisan jika sudah bersama kekasih halalnya. Ridho Allah telah menyertai mereka. Semoga cinta kalian kekal abadi dunia akhirat. Semoga kalian kelak bisa duduk bersama di singgasana Ars`y-Nya.