RUMAH CAHAYA
oleh: Nur Atika
Lelaki berjaket
biru tua itu memarkir motornya di depan rumah Bu Tri, rumah semi permanen
berukuran 4x5 meter yang terletak paling ujung Gang Kampung Harapan di tepian
Kali Jagir. Adam segera berjalan menuju Rumah Cahaya, sebuah taman baca dan
sanggar bermain yang terletak tepat di samping rumah Bu Tri. Saat ia datang, ia
hanya mendapati empat bocah, tiga di antaranya sedang mempersiapkan diri untuk
mengikuti lomba membaca puisi. Bocah satunya lagi lebih memilih mendengarkan
sambil sesekali mengejek cara temannya membaca puisi.
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu[1]
“Beneran mau jawab
begitu Mbak Ayu? Jawabanmu nanti disalahkan gurumu lo!”
Bocah lainnya ikut
tertawa dan meledek menyaksikan itu.
Bayang-bayang
mulai memanjang ke arah timur, matahari mulai memendarkan sinar kekuningan di
permukaan sungai Jagir. Ini sudah jam 3 sore, tapi Rumah Cahaya masih sepi.
Seperti biasa, setiap akan ada kegiatan di Rumah Cahaya penggerak atau pengajar harus berjalan
keliling ke deretan rumah semi permanen itu untuk menjemput anak-anak penduduk
sekitar. Kali ini Adam ditemani Ayu, bocah kelas lima SD yang sudah lima tahun
juga belajar dan aktif mengikuti kegiatan di Rumah Cahaya.
“Mas Adam ikut
buka puasa nih?” Ucap salah seorang penduduk dengan nada guyon.
“Saya kalau acara
makan-makan selalu ikut, Bu. Meskipun saya tidak ikut puasa.”
***
Saat melihat
pemberitahuan di telepon genggamnya, Maryam mulai panik. Perempuan itu tak
mempedulikan lagi script bahasa pemrogramannya yang masih error. Waktu Ashar
telah tiba, Ia harus segera meninggalkan laboratorium pemrograman di kampusnya.
Satu persatu anak tangga Ia lewati untuk bergegas menuju acara buka bersama di
Rumah Cahaya.
Bunyi klakson dan
rem berdecit mengiringi perjalan Maryam menuju Rumah Cahaya. Mahasiswi rantau
itu mengendara motornya di antara ratusan kendaraan yang mengular di jalan
utama kota Surabaya. Lampu merah adalah saat yang tepat bagi lamunan untuk
hinggap di kepala ratusan orang yang terhenti.
Maryam tiba-tiba
teringat kepada Adam, teman masa kecilnya. Setelah jarang sekali bertemu selama
enam tahun Maryam menghabiskan waktu SMP dan SMA di Pondok Pesantren, sekarang
mereka dipertemukan lagi di Surabaya. Walau mereka kuliah di kampus yang
berbeda, namun setidaknya mereka bertemu dua kali dalam seminggu. Ia mengajak
Adam untuk menjadi pengajar di Rumah Cahaya, sebuah sanggar bermain dan taman
baca yang didirikan beberapa senior dan teman kuliah Maryam untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat di pinggiran Kali Jagir. Ia mengingat Adam kecil sebagai
bocah yang selalu berhasil menemukannya saat bermain petak umpet, pangeran
kecil yang selalu menjadi pasangannya saat bermain drama, teman bermain ular
tangga yang selalu Ia tunggu kepulangannya dari gereja ketika minggu pagi.
Bayangan masa
kecilnya buyar ketika Maryam mendengar bunyi klakson dari pengendara lain. Ia
melanjutkan perjalanan, membelah jalanan protokol kota Surabaya, melewati
terminal Bratang yang dipenuhi angkot dan bus kosong, kemudian memasuki
gang-gang kecil menuju pemukiman setengah tembok setengah triplek di pinggiran Kali
Jagir.
“Mau buka puasa
bareng ya Mbak? Di belakang sudah ramai lo...”
Seperti biasa, Bu
Nia dan para pengunjung warung kopinya adalah orang-orang pertama yang
menyambut Maryam dengan senyuman dan sapaan. Warkopnya terletak tepat di muka
lorong menuju Rumah Cahaya. Walau bulan puasa, warkopnya masih buka dan tidak
sepi pengunjung. Agar tetap menghormati orang yang berpuasa, Bu Nia menutup
warung kopinya dengan tirai selebar setengah meter. Tirai dengan lebar setengah
meter ternyata juga tak bisa menyembunyikan kegiatan orang di dalam sana dan
yang pasti aroma kopinya tetap terbang bebas ke hidung orang-orang yang
melewatinya. Di kota besar seperti Surabaya hal ini merupakan hal yang biasa.
Suasana Rumah
Cahaya sudah ramai ketika Maryam sampai di lokasi. Suara bocah riuh bergembira,
anak-anak usia TK dan playgroup sudah
hampir menyelesaikan lomba menggambar dan mewarna. Laili dan Dewi, teman
penggerak Rumah Cahaya sibuk membungkus bingkisan yang akan dibagikan nanti.
Teman penggerak yang lainnya menyiapkan buka puasa dan lomba. Di tengah
keramaian, Maryam diam-diam mencari teman masa kecilnya. Kemudian ia menemukan
Adam sedang duduk dekat Novi, bocah TK
yang sedang menggambar rumah besar yang dipenuhi bunga dan pepohonan.
“Hai Adam, tumben
tepat waktu. Sudah dari tadi datangnya?” Sapa Maryam kepada Adam.
Adam hanya diam,
melirik dan menaikkan kedua matanya. Kemudian pandangan Adam kembali tertuju
kepada Novi yang sedang menggambar. Maryam sudah terbiasa melihat tingkah Adam
seperti itu.
“Bagus banget
gambarnya Nov.” Maryam mencoba memulai pembicaraan dengan Novi.
“Terima kasih
Kak.” Jawab Novi singkat sambil tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya.
Ponsel Maryam
berbunyi, ada pesan baru yang masuk. Ternyata dari orang di sebelahnya, Adam.
“Anak ini memimpikan tinggal di rumah yang lebih
layak dari rumahnya sekarang. Bermain di bawah pohon yang teduh dan menanam
bunga di halaman rumahnya.”
Maryam langsung
membalas pesan Adam:
“Semua orang memimpikan
hal yang sama. Aku juga begitu. Tinggal di rumah seperti rumah-rumah di kampung
kita.”
Beberapa menit
setelahnya, Maryam menerima pesan balasan dari Adam, “Tidak bagiku, rumahku
adalah di manapun aku bersamamu.”
Maryam menghela
nafas panjang ketika membaca pesan dari Adam. Ia langsung beranjak sambil
menggumam pelan, “Adam itu pasangannya Hawa, Eve katamu. Bukan Maryam.”
Adam hanya
tersenyum melihat perempuan berkerudung biru muda itu meninggalkannya menghampiri
teman-temannya yang lain. Puteri kecil yang dulu bermahkota daun nangka itu
kini telah menjadi perempuan cantik. Selain itu, ia juga tumbuh menjadi
perempuan baik hati, Adam mengira setelah enam tahun terkungkung di pesantren
Maryam akan menjadi perempuan kurang gaul. Namun ia salah, Maryam kini menjadi
seorang yang sangat peduli terhadap orang-orang yang bahkan tak benar-benar ia
kenal. Maryam selalu menjadi perempuan yang menarik bagi Adam.
Langit surabaya
mulai keemasan saat itu, suara orang membaca Al Qur’an bersaut-sautan dari
surau-surau, beradu suara dengan irama mesin dan klakson kendaraan bermotor di
jalanan. Anak-anak sudah mengumpulkan karya lomba mewarna dan menggambarnya. Satu
persatu peserta lomba membaca puisi membacakan puisinya dengan penuh
penghayatan. Para penonton dan ibu-ibu bertepuk
tangan dan terpukau ketika Ayu membaca puisi berjudul Ibu dengan sangat apik.
Pendaftaran peserta lomba adzan dimulai. Thoriq, bocah tambun kelas II MI itu
menjadi peserta yang pertama mendaftar. Panitia sangat gembira melihat antusias
peserta lomba. Ada tiga belas peserta lomba Adzan yang sudah berbaris mengantri
untuk mendaftar. Mereka maju satu persatu, panitia mendadak diam dan saling
memandang ketika Oka ingin mengikuti lomba Adzan. Oka, seorang bocah Hindu
kelas II SD Negeri yang juga penduduk Kampung Harapan.
“Oka, kamu kan
agamanya bukan islam, memangnya kamu bisa Adzan?” Salah satu ibu-ibu yang
menyaksikan hal itu berkata dengan nada nyinyir.
“Kamu yakin mau
ikut lomba Adzan?”, tanya Maryam kepada Oka.
Maryam melempar
pandangannya ke arah Adam, teman baik yang pada masa kecilnya bernasib sama
dengan Oka. Teman kecil yang pernah menghabiskan waktu sepanjang liburan puasa
bersamanya dan teman-temannya di kampung halaman yang keseluruhan beragama
islam. Adam selalu bangun di setiap waktu sahur dan langsung keluar untuk ikut berpatroli
keliling kampung membangunkan orang-orang yang belum siap terjaga lagi. Kadang
juga ia ikut bergabung menjadi serdadu yang siap menyerang bersenjatakan mercon bumbung[2].
Adam dan teman-temannya bagaikan pasukan yang bergerilya di dini hari,
mengagetkan dan memaksa bangun orang-orang yang sebenarnya malas sahur. Maryam
tahu bahwa Adam kecil tak pernah benar-benar tahu mengapa Maryam berpuasa
sebulan penuh dan mengapa Adam tidak, sebagaimana Maryam tak pernah benar-benar
tahu mengapa ayah Adam memilih untuk mengajak Adam beribadah ke Gereja dan
mengapa Abahnya rajin mengajaknya sholat jama’ah ke Masjid. Yang mereka tahu
soal perbedaan agama hanya sebatas yang mereka pelajari di pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan pada bab kerukunan. Mereka tahu bahwa nama Tuhan yang mereka
sembah berbeda, kitab suci mereka berbeda, rumah ibadah mereka berbeda. Namun
mereka belum benar-benar tahu mengapa. Yang mereka tahu walaupun agama mereka
berbeda, mereka harus hidup rukun. Mereka tidak pernah benar-benar tahu
persoalan apa yang terjadi di antara orang dewasa sehingga harus ada pelajaran
yang mengharuskan mereka untuk hidup rukun. Kehidupan masa kecil Maryam, Adam,
dan teman-teman lainnya baik-baik saja waktu itu.
***
Adam mengamati
dari jauh anak lelaki bertubuh kecil yang beridiri di antrean paling belakang
anak-anak yang akan mengikuti lomba Adzan. Seperti anak-anak rumah cahaya yang
lain, kulitnya nampak sedikit kusam karena siang harinya banyak dihabiskan
dijalanan untuk mendendangkan irama kesedihan dan patah hati, menawarkan suara
sumbang mereka dengan modus menghibur pengendara yang terjebak macet di lampu
merah sepanjang jembatan Kali Jagir. Sore ini Adam menyaksikan bagaimana Oka
berbaris dengan semangat untuk mengikuti lomba Adzan.
Sebagaimana Oka,
Adam melewati masa kecilnya di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama
islam. Ketika matahari pagi belum terbit, saat suara kokok ayam jantan milik
tetangganya mulai berkolaborasi dengan cicit cuit burung-burung di pepohonan,
ibunya sudah membukakan jendela kamarnya. Saat ia bangun dari tempat tidur dan
melihat ke arah luar dari jendela kamarnya yang menghadap langsung ke jalanan
kampung, pemandangan pertama yang hampir selalu ia lihat di setiap pagi adalah senyuman
yang dilempar oleh sekelompok ibu-ibu yang berjalan mengenakan mukenah putih
dengan motif bordilan bunga-bunga di pinggiran mukenahnya. Ibu-ibu itu baru
pulang dari pengajian setelah sholat subuh di masjid yang berjarak hanya
sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Suara guru ngaji yang digemakan lewat
toa itu kerap terdengar saat ia tidur seperti dongeng yang tiba-tiba masuk ke
dalam mimpinya. Saat tak sengaja terjaga, ia sering ikut mendengarkan isi dari
pengajian di masjid itu. Ia begitu menikmati pengajian dari masjid dekat
rumahnya ketika pengajian itu menceritakan kisah-kisah bijak dan heroik dari
Nabi-nabi dan umat terdahulu. Namun tak jarang juga ia merasa tidurnya
terganggu saat mendengarkan suara yang menggema dari toa masjid kampungnya.
Suara toa yang
menggema dari masjid kampung Adam tak pernah tebang pilih, gelombangnya
memasuki celah-celah jendela hingga sampai ke lubang telinga setiap makhluk
yang ada di Dusun Krajan, kampung halaman Adam. Hal ini membuat hampir setiap penduduk
menghafal lafadz adzan dan puji-pujian yang dibaca antara adzan dan iqomah,
termasuk Adam. Bukan hanya bacaannya, bahkan ia juga hafal jadwal mu’adzdzin[3] yang
bertugas di setiap waktu sholat di masjid kampungnya.
Adam terbangun
dari nostalgianya ketika teman-temannya mulai memperdebatkan masalah boleh atau
tidaknya Oka mengikuti lomba adzan. Beberapa teman panitia dan ibu-ibu di
Kampung Harapan tidak menyetujui jika Oka diperbolehkan mengikuti lomba adzan.
Mereka beralasan bahwa adzan adalah tradisi orang islam, maka akan terlihat
janggal jika ada seorang anak dari agama lain yang mengumandangkannya.
“Iso adzan temenan gak arek iku?”[4]
“Halah, paling mek saking pengen ngece.”[5]
“La lek dowo endek’e gak tepak lo piye?”
”Yu Jah, Yu Jah... la wong awak dewe ae yo durung
mesthi lek bener ngajine.”
“Biarin toh,
namanya juga anak kecil. Siapa tahu nanti dia dapat hidayah.”
Adam mendengar berbagai
komentar dari ibu-ibu yang duduk di bangku kayu panjang dekat rumah Bu Tri.
Adam hanya diam ketika teman-teman penggerak Rumah Cahaya sedang berunding
untuk memutuskan apakah Oka diperbolehkan mengikuti lomba adzan atau tidak.
Bagi beberapa penggerak di Rumah Cahaya, hal itu bukanlah masalah yang harus
dipersulit. Oka hanyalah seorang bocah yang belum mengerti arti perbedaan, ia
hanya ingin berpartisipasi dalam lomba ini, sama seperti teman-temannya yang
lain.
“Kalau kita
mencegah Oka mengikuti lomba Adzan, yang ia tangkap adalah bahwa kita
memperlakukannya berbeda dari anak-anak yang lain. Tuhan kita mengasihi bocah
ini, bahkan mungkin melebihi cinta kita terhadap Tuhan. Biarkan Tuhan tersenyum
mendengar suara lugu bocah yang belum
mengerti perbedaan dari tiap-tiap agama ini mengagungkan nama-Nya. Bagaimanapun
juga, jangan menciptakan kesedihan pada
dirinya, setiap anak harus bahagia.”
Suara Maryam
terdengar sangat lembut namun lugas di telinga Adam. Teman-teman penggerak yang
lain akhirnya sepakat untuk memperbolehkan Oka mengikuti lomba adzan. Suasana
tetiba berubah menjadi hening ketika Oka mulai mengumandangkan kebesaran Tuhan
di senja bulan Ramadhan. Semua terdiam dan mendengarkan. Suara Oka tak kalah
bagus jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Anak-anak Rumah Cahaya,
pengajar, penggerak, ibu-ibu, dan semua yang hadir bertepuk tangan ketika Oka
usai mengumandangkan adzan. Oka tersenyum manis, dan senyum bahagianya menjadi
surga yang meneduhkan bagi siapapun yang melihatnya.
Setelah rangkaian
lomba dan pembagian bingkisan lebaran selesai dilaksanakan, acara sore itu dipuncaki
dengan buka bersama. Bukan hanya yang berpuasa yang merasakan kebahagiaan
berbuka maghrib itu, Adam dan Oka juga turut merasakan bahagianya kebersamaan
sepanjang kegiatan lomba dan buka bersama sore itu.
Ada yang tak akan
pernah berakhir dari senja itu. Rekaman gelak tawa bocah-bocah, senyuman
ibu-ibu ketika melihat anak-anaknya tertawa, kegembiraan yang tak dapat
disembunyikan ketika mendapat bingkisan berisi alat tulis sekolah dan sedikit kue
lebaran, kebahagiaan para pengajar dan penggerak Rumah Cahaya yang mencicipi
indahnya berbagi sekaligus mendapatkan hiburan di tengah padat dan
membosankannya mengerjakan tugas kuliah dan praktikum. Ada lagi, mungkin nanti
setelah mulai mengerti perbedaan, Oka akan mengingat bahwa dia pernah mengumandangkan
adzan di depan enampuluhan anak-anak dan orang dewasa. Meski entah apa yang
akan ia rasakan saat itu. Kenangan masa kecil yang lugu adalah tabungan
berharga yang bisa dimunculkan dan membuat seseorang tersenyum kapan saja. Dan
orang-orang yang pernah menanamkan kebahagiaan di masa kanak-kanak adalah
orang-orang beruntung karena ternyata menanamkan satu kebahagiaan kepada
anak-anak akan menumbuhkan berjuta kebahagiaan yang lain.
***
Dalam durasi tidak
lebih dari 35 menit, sholat tarawih di musholla dekat indekos Maryam
dirampungkan. musholla dengan durasi sholat tarawih tercepat dibanding musholla
lain di sekitar indekos Maryam. Dengan waktu secepat itu imam sholat jama’ah
mampu menyelesaikan 20 raka’at tarawih dengan 3 raka’at witir. Maryam sering
mendengar komentar beberapa orang mengenai kecepatan sholat yang kurang wajar
itu. Namun Maryam tidak mau ambil pusing, musholla itu adalah musholla terdekat
dari indekosnya, selain itu ia berkeyakinan bahwa kekhusyukan itu tidak selalu
dilihat dari lama atau tidaknya durasi sholat seseorang. Usai sholat tarawih,
Maryam langsung kembali ke indekosnya. Ia harus menyelesaikan beberapa tugas
kuliah dan laporan praktikum yang esok harus dikumpulkan. Seperti biasa,
Surabaya gerah saat itu. Walaupun malam, Maryam tetap memutar kipas angin di
kamarnya dengan kecepatan tertinggi. Hal pertama yang selalu dilakukan Maryam
ketika baru sampai indekos adalah mengecek pemberitahuan di telepon genggamnya.
Pesan pertama yang ia baca berasal dari Adam. Pesan singkat, sangat singkat.
“Cek email.”
***
Aku sering berpikir. Barangkali kemalangan kita saat
ini adalah balasan atas kesalahan yang pernah kita lakukan terhadap orang lain
di masa lalu, entah sengaja atau tidak. Atau mungkin hukuman Tuhan atas
ketidaksetiaan kita pada-Nya. Ah, entahlah. Apa kehidupan kita sekarang dan
nanti hanya tentang balas-membalas dan hukum-menghukum?
Ternyata tidak juga. Kita sudah dipisahkan atas nama
perbedaan sejak kita belum benar-benar memahami apa itu agamaku dan apa itu
agamamu.
Pagi itu kita memasuki kelas baru di Sekolah Dasar.
Jam pelajaran setelah istirahat adalah jadwal Pendidikan Agama. Guru kita
mengumumkan dua siswa yang dipanggil harus meninggalkan kelas untuk berpindah
ke kelas agama lain. Satu dari dua siswa yang dipanggil itu adalah aku. Kau
bertanya lugu mengapa aku harus berpindah kelas.
Saat itu kita masih usia delapan atau sembilan tahun,
tepat saat Natal dirayakan, kau masih menunaikan puasa Ramadhan. Saat maghrib
hampir tiba, aku menuju rumahmu untuk berbagi kue Natal denganmu, agar menjadi
makanan manis pertama yang kau kecap saat berbuka. Aku berteriak memanggil
namamu dari luar pagar. Saat kau membuka pintu rumahmu, ternyata bulikmu[6]
yang berjilbab panjang yang kebetulan bertamu ke rumahmu juga ikut menengokku.
Ketika ia tahu aku akan memberimu sepotong kue Natal, ia langsung memaksamu
masuk. Tanpa berkata apapun ia menutup pintu rumahmu. Sebelumnya aku tak pernah
mengerti mengapa ia bersikap begitu, hingga suatu hari kutanyakan hal itu
kepada Abahmu yang berwajah meneduhkan itu. Akhirnya aku mengerti ternyata
bulikmu itu berkeyakinan bahwa makanan yang kubawa itu haram jika kau memasuki
organ-organ pencernaanmu. Dan saat itu juga aku tahu bahwa Abahmu berpendapat
berbeda dengan Bulikmu. Bulikmu tak pernah tahu, aku selalu melahap habis nasi
berkatan yang dikirimi oleh tetangga-tetanggaku ketika mereka tahlilan,
sholawatan, aqiqah, atau hajatan lain yang tak kuhafal nama acaranya.
Ada rasa kehilangan yang sangat saat kutahu kau
memutuskan untuk tinggal di pesantren usai lulus SD. Aku membayangkan tak bisa
lagi membonceng keliling kampung seorang puteri kecil bermahkotakan daun nangka.
Temanku banyak, tapi kata mereka kau adalah yang paling serasi menjadi tuan
puteriku saat bermain raja-rajaan.
Enam tahun berlalu, kukira bukanlah kebetulan saat
kita sama-sama diterima menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri di
Surabaya. Meskipun di kampus yang berbeda, namun kampus kita sekarang hanya
berjarak kurang dari 5 Km. Jarak yang sangat dekat untuk sering-sering
mengajakmu makan bersama di warung-warung kaki lima di sepanjang jalan dekat
kampusmu, pikirku saat itu. Namun karena kesibukan praktikummu sebagai
mahasiswa teknik dan laporanmu hanya mempertemukan kita sesekali saat
berkegiatan di Rumah Cahaya.
Aku mendapati dirimu bukan lagi sebagai puteri kecil
bermahkota daun nangka. Kau telah tumbuh menjadi gadis yang matang. Aku mulai
menyukai gaya bicaramu yang kalem namun tetap tegas, aku mulai kecanduan
melihat senyummu yang santun menyejukkan. Aku selalu menikmati nada saat kau
membacakan dongeng pada adik-adik di Rumah Cahaya.
Barangkali pertemuanku lagi denganmu adalah balasan
Tuhan atas sedikit kebaikan yang tak sengaja kulakukan. Entah kapan.
Aku bermimpi kau akan menjadi Tuan Puteri dalam
hidupku, tapi seperti yang kau katakan sebelum-sebelumnya, kau mengenal
batasan.
Atau mungkin kau mau kuajak membangun kerajaan dan
hidup di luar angkasa?
[1] Puisi Berjudul “Ibu”, Karya D. Zawawi Imron
[2] Meriam bambu
[3] Orang yang Adzan
[4] “Bisa adzan beneran tidak anak itu?”
[5] “Halah, mungkin dia hanya ingin mengejek.”
[6] Bulik = panggilan untuk saudara perempuan orang tua kita yang lebih kecil
Nur Atika, lahir di Malang,
tanggal 1 November 1990. Penulis adalah pengajar di SMK Terpadu Al Ishlahiyah,
sekolah di lingkungan pesantren tempat penulis nyantri. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Muslimat
Sumber Kradenan-Pakis, MI Islamiyah-Pakis, MTs dan MA Almaarif, Singosari – Malang
dan terakhir di Jurusan Sistem Informasi ITS Surabaya.
Selama menjadi menempuh pendidikan
di ITS Surabaya, penulis juga aktif berkegiatan di beberapa organisasi, antara
lain PMII Sepuluh Nopember, CSS MoRA ITS, dan UKM Penalaran ITS. Selain itu
penulis juga aktif menjadi pengajar di Sanggar & Taman Baca Masyarakat
Lengger (Surabaya).
Penulis bisa
dihubungi melalui email atika703@gmail.com,
sosial media fb facebook.com/sayatika, instagram & twitter dengan akun
@atikamusthafa atau melalui blog atikamusthafa.wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar