Senin, 17 Oktober 2016

RUMAH CAHAYA

RUMAH CAHAYA
oleh: Nur Atika
Lelaki berjaket biru tua itu memarkir motornya di depan rumah Bu Tri, rumah semi permanen berukuran 4x5 meter yang terletak paling ujung Gang Kampung Harapan di tepian Kali Jagir. Adam segera berjalan menuju Rumah Cahaya, sebuah taman baca dan sanggar bermain yang terletak tepat di samping rumah Bu Tri. Saat ia datang, ia hanya mendapati empat bocah, tiga di antaranya sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba membaca puisi. Bocah satunya lagi lebih memilih mendengarkan sambil sesekali mengejek cara temannya membaca puisi.
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu[1]
“Beneran mau jawab begitu Mbak Ayu? Jawabanmu nanti disalahkan gurumu lo!”
Bocah lainnya ikut tertawa dan meledek menyaksikan itu.
Bayang-bayang mulai memanjang ke arah timur, matahari mulai memendarkan sinar kekuningan di permukaan sungai Jagir. Ini sudah jam 3 sore, tapi Rumah Cahaya masih sepi. Seperti biasa, setiap akan ada kegiatan di Rumah Cahaya  penggerak atau pengajar harus berjalan keliling ke deretan rumah semi permanen itu untuk menjemput anak-anak penduduk sekitar. Kali ini Adam ditemani Ayu, bocah kelas lima SD yang sudah lima tahun juga belajar dan aktif mengikuti kegiatan di Rumah Cahaya.
“Mas Adam ikut buka puasa nih?” Ucap salah seorang penduduk dengan nada guyon.
“Saya kalau acara makan-makan selalu ikut, Bu. Meskipun saya tidak ikut puasa.”
***
Saat melihat pemberitahuan di telepon genggamnya, Maryam mulai panik. Perempuan itu tak mempedulikan lagi script bahasa pemrogramannya yang masih error. Waktu Ashar telah tiba, Ia harus segera meninggalkan laboratorium pemrograman di kampusnya. Satu persatu anak tangga Ia lewati untuk bergegas menuju acara buka bersama di Rumah Cahaya.
Bunyi klakson dan rem berdecit mengiringi perjalan Maryam menuju Rumah Cahaya. Mahasiswi rantau itu mengendara motornya di antara ratusan kendaraan yang mengular di jalan utama kota Surabaya. Lampu merah adalah saat yang tepat bagi lamunan untuk hinggap di kepala ratusan orang yang terhenti.
Maryam tiba-tiba teringat kepada Adam, teman masa kecilnya. Setelah jarang sekali bertemu selama enam tahun Maryam menghabiskan waktu SMP dan SMA di Pondok Pesantren, sekarang mereka dipertemukan lagi di Surabaya. Walau mereka kuliah di kampus yang berbeda, namun setidaknya mereka bertemu dua kali dalam seminggu. Ia mengajak Adam untuk menjadi pengajar di Rumah Cahaya, sebuah sanggar bermain dan taman baca yang didirikan beberapa senior dan teman kuliah Maryam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di pinggiran Kali Jagir. Ia mengingat Adam kecil sebagai bocah yang selalu berhasil menemukannya saat bermain petak umpet, pangeran kecil yang selalu menjadi pasangannya saat bermain drama, teman bermain ular tangga yang selalu Ia tunggu kepulangannya dari gereja ketika minggu pagi.
Bayangan masa kecilnya buyar ketika Maryam mendengar bunyi klakson dari pengendara lain. Ia melanjutkan perjalanan, membelah jalanan protokol kota Surabaya, melewati terminal Bratang yang dipenuhi angkot dan bus kosong, kemudian memasuki gang-gang kecil menuju pemukiman setengah tembok setengah triplek di pinggiran Kali Jagir.
“Mau buka puasa bareng ya Mbak? Di belakang sudah ramai lo...”
Seperti biasa, Bu Nia dan para pengunjung warung kopinya adalah orang-orang pertama yang menyambut Maryam dengan senyuman dan sapaan. Warkopnya terletak tepat di muka lorong menuju Rumah Cahaya. Walau bulan puasa, warkopnya masih buka dan tidak sepi pengunjung. Agar tetap menghormati orang yang berpuasa, Bu Nia menutup warung kopinya dengan tirai selebar setengah meter. Tirai dengan lebar setengah meter ternyata juga tak bisa menyembunyikan kegiatan orang di dalam sana dan yang pasti aroma kopinya tetap terbang bebas ke hidung orang-orang yang melewatinya. Di kota besar seperti Surabaya hal ini merupakan hal yang biasa.
Suasana Rumah Cahaya sudah ramai ketika Maryam sampai di lokasi. Suara bocah riuh bergembira, anak-anak usia TK dan playgroup sudah hampir menyelesaikan lomba menggambar dan mewarna. Laili dan Dewi, teman penggerak Rumah Cahaya sibuk membungkus bingkisan yang akan dibagikan nanti. Teman penggerak yang lainnya menyiapkan buka puasa dan lomba. Di tengah keramaian, Maryam diam-diam mencari teman masa kecilnya. Kemudian ia menemukan Adam  sedang duduk dekat Novi, bocah TK yang sedang menggambar rumah besar yang dipenuhi bunga dan pepohonan.
“Hai Adam, tumben tepat waktu. Sudah dari tadi datangnya?” Sapa Maryam kepada Adam.
Adam hanya diam, melirik dan menaikkan kedua matanya. Kemudian pandangan Adam kembali tertuju kepada Novi yang sedang menggambar. Maryam sudah terbiasa melihat tingkah Adam seperti itu.
“Bagus banget gambarnya Nov.” Maryam mencoba memulai pembicaraan dengan Novi.
“Terima kasih Kak.” Jawab Novi singkat sambil tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya.
Ponsel Maryam berbunyi, ada pesan baru yang masuk. Ternyata dari orang di sebelahnya, Adam.
 “Anak ini memimpikan tinggal di rumah yang lebih layak dari rumahnya sekarang. Bermain di bawah pohon yang teduh dan menanam bunga di halaman rumahnya.”
Maryam langsung membalas pesan Adam:
“Semua orang memimpikan hal yang sama. Aku juga begitu. Tinggal di rumah seperti rumah-rumah di kampung kita.”
Beberapa menit setelahnya, Maryam menerima pesan balasan dari Adam, “Tidak bagiku, rumahku adalah di manapun aku bersamamu.”
Maryam menghela nafas panjang ketika membaca pesan dari Adam. Ia langsung beranjak sambil menggumam pelan, “Adam itu pasangannya Hawa, Eve katamu. Bukan Maryam.”
Adam hanya tersenyum melihat perempuan berkerudung biru muda itu meninggalkannya menghampiri teman-temannya yang lain. Puteri kecil yang dulu bermahkota daun nangka itu kini telah menjadi perempuan cantik. Selain itu, ia juga tumbuh menjadi perempuan baik hati, Adam mengira setelah enam tahun terkungkung di pesantren Maryam akan menjadi perempuan kurang gaul. Namun ia salah, Maryam kini menjadi seorang yang sangat peduli terhadap orang-orang yang bahkan tak benar-benar ia kenal. Maryam selalu menjadi perempuan yang menarik bagi Adam.
Langit surabaya mulai keemasan saat itu, suara orang membaca Al Qur’an bersaut-sautan dari surau-surau, beradu suara dengan irama mesin dan klakson kendaraan bermotor di jalanan. Anak-anak sudah mengumpulkan karya lomba mewarna dan menggambarnya. Satu persatu peserta lomba membaca puisi membacakan puisinya dengan penuh penghayatan. Para penonton dan ibu-ibu  bertepuk tangan dan terpukau ketika Ayu membaca puisi berjudul Ibu dengan sangat apik. Pendaftaran peserta lomba adzan dimulai. Thoriq, bocah tambun kelas II MI itu menjadi peserta yang pertama mendaftar. Panitia sangat gembira melihat antusias peserta lomba. Ada tiga belas peserta lomba Adzan yang sudah berbaris mengantri untuk mendaftar. Mereka maju satu persatu, panitia mendadak diam dan saling memandang ketika Oka ingin mengikuti lomba Adzan. Oka, seorang bocah Hindu kelas II SD Negeri yang juga penduduk Kampung Harapan.
“Oka, kamu kan agamanya bukan islam, memangnya kamu bisa Adzan?” Salah satu ibu-ibu yang menyaksikan hal itu berkata dengan nada nyinyir.
“Kamu yakin mau ikut lomba Adzan?”, tanya Maryam kepada Oka.
Maryam melempar pandangannya ke arah Adam, teman baik yang pada masa kecilnya bernasib sama dengan Oka. Teman kecil yang pernah menghabiskan waktu sepanjang liburan puasa bersamanya dan teman-temannya di kampung halaman yang keseluruhan beragama islam. Adam selalu bangun di setiap waktu sahur dan langsung keluar untuk ikut berpatroli keliling kampung membangunkan orang-orang yang belum siap terjaga lagi. Kadang juga ia ikut bergabung menjadi serdadu yang siap menyerang bersenjatakan mercon bumbung[2]. Adam dan teman-temannya bagaikan pasukan yang bergerilya di dini hari, mengagetkan dan memaksa bangun orang-orang yang sebenarnya malas sahur. Maryam tahu bahwa Adam kecil tak pernah benar-benar tahu mengapa Maryam berpuasa sebulan penuh dan mengapa Adam tidak, sebagaimana Maryam tak pernah benar-benar tahu mengapa ayah Adam memilih untuk mengajak Adam beribadah ke Gereja dan mengapa Abahnya rajin mengajaknya sholat jama’ah ke Masjid. Yang mereka tahu soal perbedaan agama hanya sebatas yang mereka pelajari di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada bab kerukunan. Mereka tahu bahwa nama Tuhan yang mereka sembah berbeda, kitab suci mereka berbeda, rumah ibadah mereka berbeda. Namun mereka belum benar-benar tahu mengapa. Yang mereka tahu walaupun agama mereka berbeda, mereka harus hidup rukun. Mereka tidak pernah benar-benar tahu persoalan apa yang terjadi di antara orang dewasa sehingga harus ada pelajaran yang mengharuskan mereka untuk hidup rukun. Kehidupan masa kecil Maryam, Adam, dan teman-teman lainnya baik-baik saja waktu itu.
***
Adam mengamati dari jauh anak lelaki bertubuh kecil yang beridiri di antrean paling belakang anak-anak yang akan mengikuti lomba Adzan. Seperti anak-anak rumah cahaya yang lain, kulitnya nampak sedikit kusam karena siang harinya banyak dihabiskan dijalanan untuk mendendangkan irama kesedihan dan patah hati, menawarkan suara sumbang mereka dengan modus menghibur pengendara yang terjebak macet di lampu merah sepanjang jembatan Kali Jagir. Sore ini Adam menyaksikan bagaimana Oka berbaris dengan semangat untuk mengikuti lomba Adzan.
Sebagaimana Oka, Adam melewati masa kecilnya di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama islam. Ketika matahari pagi belum terbit, saat suara kokok ayam jantan milik tetangganya mulai berkolaborasi dengan cicit cuit burung-burung di pepohonan, ibunya sudah membukakan jendela kamarnya. Saat ia bangun dari tempat tidur dan melihat ke arah luar dari jendela kamarnya yang menghadap langsung ke jalanan kampung, pemandangan pertama yang hampir selalu ia lihat di setiap pagi adalah senyuman yang dilempar oleh sekelompok ibu-ibu yang berjalan mengenakan mukenah putih dengan motif bordilan bunga-bunga di pinggiran mukenahnya. Ibu-ibu itu baru pulang dari pengajian setelah sholat subuh di masjid yang berjarak hanya sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Suara guru ngaji yang digemakan lewat toa itu kerap terdengar saat ia tidur seperti dongeng yang tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Saat tak sengaja terjaga, ia sering ikut mendengarkan isi dari pengajian di masjid itu. Ia begitu menikmati pengajian dari masjid dekat rumahnya ketika pengajian itu menceritakan kisah-kisah bijak dan heroik dari Nabi-nabi dan umat terdahulu. Namun tak jarang juga ia merasa tidurnya terganggu saat mendengarkan suara yang menggema dari toa masjid kampungnya.
Suara toa yang menggema dari masjid kampung Adam tak pernah tebang pilih, gelombangnya memasuki celah-celah jendela hingga sampai ke lubang telinga setiap makhluk yang ada di Dusun Krajan, kampung halaman Adam. Hal ini membuat hampir setiap penduduk menghafal lafadz adzan dan puji-pujian yang dibaca antara adzan dan iqomah, termasuk Adam. Bukan hanya bacaannya, bahkan ia juga hafal jadwal mu’adzdzin[3] yang bertugas di setiap waktu sholat di masjid kampungnya.
Adam terbangun dari nostalgianya ketika teman-temannya mulai memperdebatkan masalah boleh atau tidaknya Oka mengikuti lomba adzan. Beberapa teman panitia dan ibu-ibu di Kampung Harapan tidak menyetujui jika Oka diperbolehkan mengikuti lomba adzan. Mereka beralasan bahwa adzan adalah tradisi orang islam, maka akan terlihat janggal jika ada seorang anak dari agama lain yang mengumandangkannya.
“Iso adzan temenan gak arek iku?”[4]
“Halah, paling mek saking pengen ngece.”[5]
“La lek dowo endek’e gak tepak lo piye?”
”Yu Jah, Yu Jah... la wong awak dewe ae yo durung mesthi lek bener ngajine.”
“Biarin toh, namanya juga anak kecil. Siapa tahu nanti dia dapat hidayah.”
Adam mendengar berbagai komentar dari ibu-ibu yang duduk di bangku kayu panjang dekat rumah Bu Tri. Adam hanya diam ketika teman-teman penggerak Rumah Cahaya sedang berunding untuk memutuskan apakah Oka diperbolehkan mengikuti lomba adzan atau tidak. Bagi beberapa penggerak di Rumah Cahaya, hal itu bukanlah masalah yang harus dipersulit. Oka hanyalah seorang bocah yang belum mengerti arti perbedaan, ia hanya ingin berpartisipasi dalam lomba ini, sama seperti teman-temannya yang lain.
“Kalau kita mencegah Oka mengikuti lomba Adzan, yang ia tangkap adalah bahwa kita memperlakukannya berbeda dari anak-anak yang lain. Tuhan kita mengasihi bocah ini, bahkan mungkin melebihi cinta kita terhadap Tuhan. Biarkan Tuhan tersenyum mendengar  suara lugu bocah yang belum mengerti perbedaan dari tiap-tiap agama ini mengagungkan nama-Nya. Bagaimanapun juga,  jangan menciptakan kesedihan pada dirinya, setiap anak harus bahagia.”
Suara Maryam terdengar sangat lembut namun lugas di telinga Adam. Teman-teman penggerak yang lain akhirnya sepakat untuk memperbolehkan Oka mengikuti lomba adzan. Suasana tetiba berubah menjadi hening ketika Oka mulai mengumandangkan kebesaran Tuhan di senja bulan Ramadhan. Semua terdiam dan mendengarkan. Suara Oka tak kalah bagus jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Anak-anak Rumah Cahaya, pengajar, penggerak, ibu-ibu, dan semua yang hadir bertepuk tangan ketika Oka usai mengumandangkan adzan. Oka tersenyum manis, dan senyum bahagianya menjadi surga yang meneduhkan bagi siapapun yang melihatnya.
Setelah rangkaian lomba dan pembagian bingkisan lebaran selesai dilaksanakan, acara sore itu dipuncaki dengan buka bersama. Bukan hanya yang berpuasa yang merasakan kebahagiaan berbuka maghrib itu, Adam dan Oka juga turut merasakan bahagianya kebersamaan sepanjang kegiatan lomba dan buka bersama sore itu.
Ada yang tak akan pernah berakhir dari senja itu. Rekaman gelak tawa bocah-bocah, senyuman ibu-ibu ketika melihat anak-anaknya tertawa, kegembiraan yang tak dapat disembunyikan ketika mendapat bingkisan berisi alat tulis sekolah dan sedikit kue lebaran, kebahagiaan para pengajar dan penggerak Rumah Cahaya yang mencicipi indahnya berbagi sekaligus mendapatkan hiburan di tengah padat dan membosankannya mengerjakan tugas kuliah dan praktikum. Ada lagi, mungkin nanti setelah mulai mengerti perbedaan, Oka akan mengingat bahwa dia pernah mengumandangkan adzan di depan enampuluhan anak-anak dan orang dewasa. Meski entah apa yang akan ia rasakan saat itu. Kenangan masa kecil yang lugu adalah tabungan berharga yang bisa dimunculkan dan membuat seseorang tersenyum kapan saja. Dan orang-orang yang pernah menanamkan kebahagiaan di masa kanak-kanak adalah orang-orang beruntung karena ternyata menanamkan satu kebahagiaan kepada anak-anak akan menumbuhkan berjuta kebahagiaan yang lain.
***
Dalam durasi tidak lebih dari 35 menit, sholat tarawih di musholla dekat indekos Maryam dirampungkan. musholla dengan durasi sholat tarawih tercepat dibanding musholla lain di sekitar indekos Maryam. Dengan waktu secepat itu imam sholat jama’ah mampu menyelesaikan 20 raka’at tarawih dengan 3 raka’at witir. Maryam sering mendengar komentar beberapa orang mengenai kecepatan sholat yang kurang wajar itu. Namun Maryam tidak mau ambil pusing, musholla itu adalah musholla terdekat dari indekosnya, selain itu ia berkeyakinan bahwa kekhusyukan itu tidak selalu dilihat dari lama atau tidaknya durasi sholat seseorang. Usai sholat tarawih, Maryam langsung kembali ke indekosnya. Ia harus menyelesaikan beberapa tugas kuliah dan laporan praktikum yang esok harus dikumpulkan. Seperti biasa, Surabaya gerah saat itu. Walaupun malam, Maryam tetap memutar kipas angin di kamarnya dengan kecepatan tertinggi. Hal pertama yang selalu dilakukan Maryam ketika baru sampai indekos adalah mengecek pemberitahuan di telepon genggamnya. Pesan pertama yang ia baca berasal dari Adam. Pesan singkat, sangat singkat.
“Cek email.”
***
Aku sering berpikir. Barangkali kemalangan kita saat ini adalah balasan atas kesalahan yang pernah kita lakukan terhadap orang lain di masa lalu, entah sengaja atau tidak. Atau mungkin hukuman Tuhan atas ketidaksetiaan kita pada-Nya. Ah, entahlah. Apa kehidupan kita sekarang dan nanti hanya tentang balas-membalas dan hukum-menghukum?
Ternyata tidak juga. Kita sudah dipisahkan atas nama perbedaan sejak kita belum benar-benar memahami apa itu agamaku dan apa itu agamamu.
Pagi itu kita memasuki kelas baru di Sekolah Dasar. Jam pelajaran setelah istirahat adalah jadwal Pendidikan Agama. Guru kita mengumumkan dua siswa yang dipanggil harus meninggalkan kelas untuk berpindah ke kelas agama lain. Satu dari dua siswa yang dipanggil itu adalah aku. Kau bertanya lugu mengapa aku harus berpindah kelas.
Saat itu kita masih usia delapan atau sembilan tahun, tepat saat Natal dirayakan, kau masih menunaikan puasa Ramadhan. Saat maghrib hampir tiba, aku menuju rumahmu untuk berbagi kue Natal denganmu, agar menjadi makanan manis pertama yang kau kecap saat berbuka. Aku berteriak memanggil namamu dari luar pagar. Saat kau membuka pintu rumahmu, ternyata bulikmu[6] yang berjilbab panjang yang kebetulan bertamu ke rumahmu juga ikut menengokku. Ketika ia tahu aku akan memberimu sepotong kue Natal, ia langsung memaksamu masuk. Tanpa berkata apapun ia menutup pintu rumahmu. Sebelumnya aku tak pernah mengerti mengapa ia bersikap begitu, hingga suatu hari kutanyakan hal itu kepada Abahmu yang berwajah meneduhkan itu. Akhirnya aku mengerti ternyata bulikmu itu berkeyakinan bahwa makanan yang kubawa itu haram jika kau memasuki organ-organ pencernaanmu. Dan saat itu juga aku tahu bahwa Abahmu berpendapat berbeda dengan Bulikmu. Bulikmu tak pernah tahu, aku selalu melahap habis nasi berkatan yang dikirimi oleh tetangga-tetanggaku ketika mereka tahlilan, sholawatan, aqiqah, atau hajatan lain yang tak kuhafal nama acaranya.
Ada rasa kehilangan yang sangat saat kutahu kau memutuskan untuk tinggal di pesantren usai lulus SD. Aku membayangkan tak bisa lagi membonceng keliling kampung seorang puteri kecil bermahkotakan daun nangka. Temanku banyak, tapi kata mereka kau adalah yang paling serasi menjadi tuan puteriku saat bermain raja-rajaan.
Enam tahun berlalu, kukira bukanlah kebetulan saat kita sama-sama diterima menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri di Surabaya. Meskipun di kampus yang berbeda, namun kampus kita sekarang hanya berjarak kurang dari 5 Km. Jarak yang sangat dekat untuk sering-sering mengajakmu makan bersama di warung-warung kaki lima di sepanjang jalan dekat kampusmu, pikirku saat itu. Namun karena kesibukan praktikummu sebagai mahasiswa teknik dan laporanmu hanya mempertemukan kita sesekali saat berkegiatan di Rumah Cahaya.
Aku mendapati dirimu bukan lagi sebagai puteri kecil bermahkota daun nangka. Kau telah tumbuh menjadi gadis yang matang. Aku mulai menyukai gaya bicaramu yang kalem namun tetap tegas, aku mulai kecanduan melihat senyummu yang santun menyejukkan. Aku selalu menikmati nada saat kau membacakan dongeng pada adik-adik di Rumah Cahaya.
Barangkali pertemuanku lagi denganmu adalah balasan Tuhan atas sedikit kebaikan yang tak sengaja kulakukan. Entah kapan.
Aku bermimpi kau akan menjadi Tuan Puteri dalam hidupku, tapi seperti yang kau katakan sebelum-sebelumnya, kau mengenal batasan.
Atau mungkin kau mau kuajak membangun kerajaan dan hidup di luar angkasa?




[1] Puisi Berjudul “Ibu”, Karya D. Zawawi Imron
[2] Meriam bambu
[3] Orang yang Adzan
[4] “Bisa adzan beneran tidak anak itu?”
[5] “Halah, mungkin dia hanya ingin mengejek.”
[6] Bulik = panggilan untuk saudara perempuan orang tua kita yang lebih kecil





Nur Atika, lahir di Malang, tanggal 1 November 1990. Penulis adalah pengajar di SMK Terpadu Al Ishlahiyah, sekolah di lingkungan pesantren tempat penulis nyantri. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Muslimat Sumber Kradenan-Pakis, MI Islamiyah-Pakis, MTs dan MA Almaarif, Singosari – Malang dan terakhir di Jurusan Sistem Informasi ITS Surabaya.
            Selama menjadi menempuh pendidikan di ITS Surabaya, penulis juga aktif berkegiatan di beberapa organisasi, antara lain PMII Sepuluh Nopember, CSS MoRA ITS, dan UKM Penalaran ITS. Selain itu penulis juga aktif menjadi pengajar di Sanggar & Taman Baca Masyarakat Lengger (Surabaya).
Penulis bisa dihubungi melalui email atika703@gmail.com, sosial media fb facebook.com/sayatika, instagram & twitter dengan akun @atikamusthafa atau melalui blog atikamusthafa.wordpress.com.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar